Masjid menjadi tempat beribadah bagi tiap umat muslim di seluruh dunia. Asal mulanya, masjid menyebar dari Jazirah Arab. Gaya bangunannya memang khas timur tengah. Namun, sesuai tujuan utama Islam haruslah menyebar ke penjuru dunia. Menyebabkan masjid mengalami perpaduan dengan berbagai kebudayaan. Mulai dari hiasan, ornamen, bahkan bentuknya. Salah satu yang bisa dilihat ialah Masjid Al-Imtizaj di Jalan Banceuy, Bandung, Jawa Barat.
Masjid ini unik, gaya arsitektur yang diemban Masjid Al-Imtizaj mirip sebuah Klenteng. Sekilas memang nampak seperti sebuah tempat peribadatan umat Kong Hu Cu. Warna bangunan didominasi perpaduan warna merah, emas, dan kuning. Pemandangan yang tak kalah mencolok ialah pintu masuk pelataran Masjid Al-Imtizaj ini. Gapura oval setinggi 5 meter bergaya Tionghoa berpadu dengan kubah masjid bergaya timur tengah.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di depan masjid Al-Imtizaj, nuansa Tionghoa yang kental akan terasa. Tak jarang beberapa umat muslim mengira bahwa masjid ini adalah sebuah Klenteng.
Memasuki pelataran Masjid Al-Imtizaj, nuansa budaya Tionghoa semakin kuat meyelimuti. Warna merah, kekuningan, dan keemasan mendominasi di setiap sudut bangunan. Bahkan aksen Tionghoa juga diterapkan pada atap masjid ini. Atap khas Tionghoa ini biasa disebut atap pelana sejajar gavel. Atap berwarna merah melengkung memayungi teras masjid dari terik matahari. Susunannya pun bertingkat ke atas layaknya sebuah pagoda.
Yang paling kentara ialah lampu penerangan berbentuk bulat merah di teras masjid. Ya, lampion khas Tionghoa menghiasi tiap sudut langit-langit. Pintunya juga tertera simbol yang kental dengan etnik Tionghoa. Namun perpaduannya mulai terlihat dengan aksen kaligrafi Arab berada di atas pintu masuk masjid. Bersantai di teras juga semakin nyaman dengan adanya kursi taman memanjang.
Ada pemandangan unik pada tempat wudu. Sebuah bangunan berbentuk cawan mengalirkan air pada padasan. Cawan tersebut didesain ala-ala tempat menaruh dupa pada sebuah Klenteng. Tidak bagi masjid ini, di atas cawan ditanam sebuah palem hias untuk memperindah tempat wudu. Palem merupakan tumbuhan khas Timur Tengah. Sebuah akulturasi unik Timur Tengah dan Tionghoa mengisi setiap sudut Masjid Al-Imtizaj.
Menginjakkan kaki di aula masjid seolah dibuat sedang berada di negara lain. Aksen dekoratif Tionghoa berasa semakin kuat. Masjid Al-Imtizaj didominasi dengan aksen kayu. Sangat khas dengan nuansa bangunan Negeri Tirai Bambu. Tempat mimbarnya berbentuk oval lengkap dengan lafal Allah dan Muhammad. Tak ketinggalan warna merah keemasan disematkan pada mimbar dan tempat imam.
Menengok ke sudut lain ada sebuah tulisan yang benar mencerminkan negeri Tiongkok. Ya, aksara Han terpampang dengan jelas berada di atas pintu dalam masjid. Tulisan dalam bahasa Cina tersebut bermakna Masjid Imtizaj. Kata Imtizaj dalam bahasa Indonesia berarti pembauran. Sesuai dengan tujuan utamanya kebersamaan antara etnik Tionghoa dengan Jawa, dalam satu wadah tempat peribadatan umat muslim.
Masjid Al-Imtizaj bukanlah bangunan peninggalan etnik Tionghoa masa lampau. Masjid ini berumur muda. Penggagasnya pun adalah seorang muslim yang juga menjadi Gubernur Jawa Barat kala itu, R. Nuriana. Ia merasa perlu membangun kebutuhan peribadatan umat muslim, di tengah heterogennya suku etnis di Bandung. Tepatnya pada tanggal 6 Agustus 2010 masjid ini diresmikan untuk penggunaannya.
Masjid yang tepat berada di belakang Gedung Merdeka ini memang berbeda. Masjid ini dibangun atas dasar kebutuhan tempat beribadah bagi muallaf. Tempat tersebut dekat dengan pemukiman etnis Tionghoa. Mereka biasa berinteraksi dengan sesama umat muslim di sana. Dengan adanya Masjid Al-Imtizaj tiap muslim berbagai etnis berbaur mendekatkan diri pada Pencipta.
Saat Ramadan, Masjid Al-Imtizaj selalu penuh dengan jemaahnya. Kegiatan ramadan seperti buka bersama, hingga salat tarawih berjamah rutin digelar. Berbagai kalangan dan etnis berbondong-bondong untuk beribadah di masjid ini. Semuanya menyatu dalam kebersamaan tanpa memandang ras, dan golongan.
Sumber: Merdeka.com