Masjid Cipaganti yang berdiri pada 1933 di Jalan Cipaganti, Kota Bandung, menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang masih berfungsi dengan baik sebagai tempat ibadah. Beberapa bagian bangunan masjid masih mempertahankan desain lama saat pertama kali diarsiteki oleh arsitek Belanda C.P.W. Schoemaker.
Saat memasuki gerbang masjid di bagian tengah, jamaah akan melihat bangunan lama masjid bergaya tempo dulu. Pada bagian kiri bangunan, terdapat prasasti yang dibuat pemerintah Kota Bandung bertuliskan waktu pendirian masjid pada 1933 dengan diarsiteki oleh C.P.W. Schoemaker. Selain itu, tertulis sebelumnya masjid tersebut memiliki nama Masjid Kaum Cipaganti dan merupakan bangunan cagar budaya.
Sedangkan pada bagian kanan masjid, terdapat dua buah prasasti yang dibuat pada 1933. Satu prasasti berisi tulisan ejaan lama yang menginformasikan masjid dibangun 7 Februari 1933 dan diresmikan pada 27 Januari 1934 oleh Bupati Bandung Raden TG Hassan Soemadipraja didampingi Patih Bandung Raden RG Wirijadinata dan Penghulu Bandung, (kini disebut Kementerian Agama) Raden Hadji Abdoel Kadir.
Satu buah prasasti lainnya berisi tentang informasi pendirian masjid menggunakan bahasa Sunda. Selanjutnya, di bagian teras masjid berdiri kukuh benteng berwarna hijau yang terdapat tulisan Alquran.
Di bagian dalam masjid tempat sholat terdapat empat saka guru dengan ornamen bunga. Selain itu, terdapat aksesoris lampu utama yang dibuat pada 1933.
Berdasarkan keterangan pada sistem informasi masjid Kementerian Agama (Kemenag), Masjid Cipaganti mengusung perpaduan konsep Eropa dan Jawa. Unsur seni bangunan Jawa, yaitu penggunaan atap tajug tumpang dua, empat saka guru dan detail ornamen bunga maupun sulur-suluran. Unsur Eropa terlihat pada pemakaian kuda-kuda segitiga penyangga atap.
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Cipaganti Mochamad Zaenal Muttakin mengungkapkan Masjid Cipaganti di wilayah utara Kota Bandung ini sudah ada dan berdiri sejak 1800-an. Masjid saat itu masih dibangun dengan material bilik dan bernama Masjid Kaum Cipaganti.
Ia menuturkan, pada 1930-an pemerintah Belanda hendak mengubah kawasan Cipaganti menjadi perumahan elite bagi warganya. Masjid pun hendak dibongkar sebab akan dijadikan jalan oleh pemerintah saat itu.
Namun, para kaum Muslimin keberatan dengan hal tersebut dan menginginkan masjid tetap ada. Seiring waktu, pemerintah Belanda mempersilakan masjid tetap berdiri, namun dengan persyaratan harus dibangun permanen.
"Ditulis di media massa tempo dulu, penghulu Bandung dan masyarakat protes setelah (masjid) diruntuhkan dan mau dijadikan jalan. Pemerintah Belanda akhirnya mempersilakan mau dibikin masjid harus permanen karena di sekeliling mau dibuat perumahan Belanda," ujarnya saat ditemui akhir pekan lalu.
Ia menuturkan, masyarakat saat itu akhirnya membangun masjid yang berdiri di tanah wakaf dengan menggunakan dana swadaya dan diarsiteki oleh Schoemaker. Masjid Cipaganti dulu memiliki luas area mencapai 8.000 meter persegi, namun akhirnya menyusut menjadi 2.675 meter persegi. Bangunan terdiri dari masjid, tempat wudhu, halaman masjid, dan kantor.
Zaenal mengatakan pada awal pendirian, bangunan masjid hanya area tengah dan di sekelilingnya adalah gazebo. Namun, pada 1960, di bagian kiri dan kanan masjid diperlebar untuk tempat sholat dan dipermanenkan pada 1977.
"Dulu namanya Masjid Kaum Cipaganti karena (mayoritas) kaum Muslimin setelah jadi perumahan, orang pribumi pindah. Masjid kaum terdiri dari kaum Muslimin," katanya.
Warna bangunan masjid dulu pun, ia mengatakan dominan hijau. Pada masa-masa awal kemerdekaan, ia memperoleh informasi jika Masjid Cipaganti turut digunakan sebagai tempat diskusi para pejuang melawan penjajah Belanda. Terlebih, masyarakat merasa sakit hati dengan kebijakan Belanda yang sempat menghancurkan masjid tersebut.
Beberapa tokoh Indonesia seperti presiden Indonesia pertama Sukarno, almarhum BJ Habibie, dan Presiden Joko Widodo sempat melaksanakan sholat di Masjid Cipaganti. "Sukarno beberapa kali sholat disini, BJ Habibie saat masih menjadi mahasiswa dan Pak Jokowi empat tahun lalu sholat disini saat menjenguk pak Ihin (Solihin GP) di rumah sakit," katanya.
Seiring perjalanan waktu, wisatawan asal Malaysia, Brunei Darussalam, dan Arab Saudi yang berkunjung ke Bandung sering datang ke Masjid Cipaganti untuk sholat. Zaenal mengatakan tiap Ramadhan berbagai kegiatan keagamaan banyak dilaksanakan. Namun, karena pandemi Covid-19, pada 2020, kegiatan bulan puasa Ramadhan sempat dihentikan dan mulai kembali berjalan tahun ini.
"Ramadhan kemarin (2020) tidak ada kegiatan dan baru sekarang ada kegiatan mengikuti protokol kesehatan dan meminta izin ke pemda. Kegiatan Ramadhan disamping kegiatan rutin seperti tarawih, tadarus berjamaah, kajian setelah ashar, tafsir dan fiqih, buka bersama takjil dan sesekali ada makan berat," katanya.
Ia menuturkan, jumlah jamaah yang akan melaksanakan sholat dibatasi menerapkan protokol kesehatan. Beberapa tradisi yang biasa dilakukan di Masjid Cipaganti, seperti perayaan tahun baru hijriah dengan pawai obor dan ngadulag (seni menabuh bedug).
Sumber: Ihram.co.id