Oleh: Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
MGN -- Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimum hijrah dari Makkah ke Yastrib bukanlah perpindahan fisik semata. Bukan pula terbatas pada perpindahan pola tindak sehari-hari yang bersifat individual dan simbolik.
Lebih luas dari itu, hijrah Nabi tahun 622 Miladiyah itu sejatinya merupakan hijrah membangun peradaban baru, yakni peradaban “Al-Madinah Al-Munawwarah”, peradaban nan tercerahkan yang lahir dari “Ad-Din” yakni ajaran Islam.
Peradaban Islam yang membebaskan kehidupan jahiliyah Arab yang berada dalam kegelapan segala hal menjadi kehidupan baru yang bercahaya dan mencahayai peradaban semesta.
Nabi Muhammad SAW bersama umat Islam pasca hijrah selama sekitar 23 tahun mengemban risalah Allah di jazirah Arab telah berhasil membangun kehidupan bangsa Arab yang berperadaban mulia dengan simbol Yastrib yang semula dusun tertinggal menjadi Al-Madinah Al-Munawwarah, kota peradaban yang tercerahkan.
Maka, hasilnya selama lebih enam abad di pentas dunia Islam hadir menjadi peradaban maju yang mencerahkan peradaban global ketika saat itu peradaban lain di berbagai benua berada dalam kegelapan.
Era itu sering disebut era pencerahan Islam, kejayaan Islam, dan abad keemasan Islam. Di situlah pangkal tolak hijrah sebagai titik balik peradaban dari jahiliyah menuju peradaban utama yang mencerahkan dunia.
Kekuatan paling esensial dari Islam sebagai agama yang mencerahkan dan risalah Nabi membawa pencerahan dapat dirujuk pada tauhid. Islam mengandung ajaran tauhid dan tauhid merupakan fondasi ajaran Islam paling asasi.
Kalimat laa ilaha illa allah dalam Islam bukan sekadar syahadat verbal. Kalimat mendasar tersebut mengandung ajaran tauhid, yakni mengesakan Allah dan tidak menyekutukan dengan apa pun.
Dalam doktrin tauhid yang otentik itu segala bentuk pembelengguan dilenyapkan. Paganisme sebagai simbol diktatorial dan mitologis klasik sekeligus pembodohan nalar diruntuhkan.
Perbudakan dan segala bentuk penindasan kaum dhu’afa-mustadh’afin dienyahkan sebagaimana pembebasan Bilal ibn Rabbah yang bersejarah.
Semua menuju titik peradaban yang bercahaya cerah laksana matahari terbit di pagi hari, yang menyinari bangsa dan negeri Arab yang dininabobokan dalam alam dzulumat yang gelap gulita itu.
Cahaya kebenaran berbasis tauhid adalah fondasi tatanan kehidupan yang memancarkan kesamaan, keadilan, kebaikan, dan segala keutamaan hidup yang kokoh di atas kanopi suci habluminallah dan relasi habluminannas yang egalitarian humanis.
Tauhid yang mencerahkan, melahirkan pandangan teologis yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan segala hal yang membelenggu kehidupan.
Di zaman modern banyak proses pembelengguan dan sistem yang dzulumat yang harus dicerahkan dengan tauhid pencerahan, sehingga melahirkan peradaban yang mecerahkan.
Maka ajaran tauhid bukan hanya mengaitkan secara integratif dimensi ilahiyah dan insaniyah, sekaligus membangun dasar peradaban yang memadukan teosentrisme dan antroposentrisme yang menebar rahmatan lil-‘alamin.
Pada era kejayaan Islam itu umat Islam unggul dalam moral dan keadaban, sekaligus dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Para ilmuwan Islam lahir sebagai sosok-sosok pencerah peradaban sebutlah Al-Farabi, Ibn Maskaweih, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Bathutah, dan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia lainnya.
Universitas Al-Qarawiyyin tahun 859 M di Fez Maroko dan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir tahun 975 M telah berdiri jauh sebelum Universitas Bologna (1088 M) di Italia dan Universitas Oxford (1096 M) di Inggris.
Kota Cordoba di Spanyol dan kota-kota lain seperti Baghdad di Iraq, Turki era Dinasti Ottoman, dan lain-lain menjadi simbol kemajuan dunia Islam.
Sejak itu peradaban Islam meluas ke Jazirah Afrika, Eropa, Asia, termasuk ke Indonesia sebagai peradaban global dan kosmopolitan.
Joel Kraemer bahkan menunjukkan bukti sejarah yang kuat bahwa peradaban Islam di era kejayaan itu merupakan fase penting yang menampilkan pertumbuhan nilai-nilai humanisme universal.
Islam sebagai agama yang mencerahkan peradaban menawarkan hijrah sebagai jalan perubahan dari kehidupan yang tertinggal atau terbelakang menuju pada kemajuan hidup dalam segala bidang kehidupan yang dijiwai nilai-nilai universal Islam.
Agama yang mencerahkan ini dalam konteks keumatan menawarkan jalan transformasi (strategi perubahan yang progresif) menuju terwujudnya umat terbaik atau khaira ummah (QS. Ali Imran: 110).
Khaira ummah memiliki watak sebagai ummatan wasatha dan syuhada ‘ala al-nas (QS. Al-Baqarah: 143). Inilah idealisasi masyarakat yang diidam-idamkan dalam konstruksi teologi Islam yang mencerahkan peradaban.
Peradaban khaira ummah dan ummatan wasatha itulah produk dari hijrah dan kehadiran risalah Islam yang menebar rahmat bagi semesta alam.
Karenanya rancang bangun kemajuan Islam produk hijrah harus menuju peradaban Islam yang utama dengan membumikan idealisasi khaira ummah dan ummatan waastha ke dalam usaha-usaha membangun peradaban berkemajuan bagi umat Islam dan bangsa di mana Islam itu hadir.
Dengan demikian umat Islam saat ini dalam memaknai hijrah niscaya mendalam, luas, dan komprehensif menuju perubahan ke arah terwujudnya peradaban Islam yang bercorak “Al-Madinah Al-Munawwarah” yang terintegrasi dengan kehidupan bangsa dan kehidupan global di mana umat Islam berada.
Bukan menyederhanakan hijrah pada hal-hal yang artifisial, verbal, dan simbolik seperti cara berpakaian dan penggunaan istilah-istilah Arab sehari-sehari sebagaimana sering ditafsirkan secara dangkal akhir-akhir ini.
Di situlah fungsi hijrah yang strategis dan berdayajangkau luas dalam mewujudkan Islam sebagai manifestasi risalah rahmatan lil-‘alamin menuju terwujudnya peradaban berkemajuan yang mencerahkan umat manusia dan kehidupan semesta di tengah persaingan dengan peradaban bangsa-bangsa lain di muka bumi sepanjang zaman!***