“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri ...” (QS. Al-Isra’ [17]:7).
“Siapa yang menabur, maka dia akan menuai.” Ungkapan tersebut pasti sudah tidak asing di telinga kita.
Menabur adalah proses awal menyebarkan benih tanaman sebelum menjadi bibit. Kemudian, hanya bibit terbaiklah yang akan siap ditanam di ladang. Setelah tumbuh dan siap panen, barulah kita dapat menuai hasil dari apa yang kita tanam tersebut.
Nah, begitulah hukum kehidupan. Di mana ada aksi, pasti ada reaksi. Di saat kita berbuat, tentu akan merasakan akibat. Akan ada konsekuensi dari setiap tindakan yang kita lakukan.
Jika perbuatan itu baik, maka kita akan menuai kebaikan. Sebaliknya, jika perbuatan itu buruk, kita pun akan menuai keburukan. Inilah hukum tabur-tuai yang ratusan tahun telah ada dalam tradisi masyarakat kita.
Tentu, tidak ada satu pun manusia yang ingin merasakan keburukan, kepahitan, dan juga penderitaan. Semua orang tentu hanya ingin sesuatu yang baik, indah, menyenangkan, dan membahagiakan. Itu sudah fitrah.
Namun, pada praktiknya, seringkali fitrah kita untuk selalu hidup penuh keindahan dan kebahagiaan bertentangan dengan usaha kita dalam mewujudkannya. Kita malah berperilaku buruk dan terjatuh dalam lembah maksiat.
Hukum Tabur-Tuai
Hukum tabur-tuai ini sebenarnya mengajarkan kita untuk tidak takut dan khawatir dengan perbuatan yang kita lakukan. Tenang saja, amal seseorang tidak akan pernah tertukar.
Jadi, tak perlu galau saat berbabur-Tuaiuat baik, namun tak mendapatkan apresiasi orang lain; karena balasan-Nya pasti datang untuk kita juga. Semakin kita ikhlas, balasan pun akan semakin berlipat ganda!
Perhitungan balasan Allah atas amal manusia mengandung banyak hikmah paling besar, yakni betapa Maha Kasihnya Allah. Kasih sayang-Nya pada manusia membuat perhitungan amal manusia sangat berpihak pada manusia itu sendiri.
Kebaikan dan keburukan tidak pernah dihitung sama. Bayangkan, jika perhitungannya sama, kita tentu bisa menebak, lebih banyak mana kebaikan dan keburukan yang ada pada diri kita?
Ya. Bisa jadi, dan sangat memungkinkan, sejatinya lebih banyak keburukan yang tertanam dalam diri kita. Namun, Allah dengan kasih sayang-Nya telah memberikan banyak waktu kepada kita untuk memperbaiki keburukan itu dengan kebaikan.
Banyak waktu untuk bertobat dari dosa. Banyak waktu untuk berhenti dari maksiat. Janji Allah bahwa balasan atas amal yang disertai ikhlas akan berlipat ganda harus menjadi motivasi untuk kita.
1. Jangan pernah ragu dengan janji Allah.
2. Mulailah lakukan sesuatu yang baik.
3. Beramallah dengan tulus.
Bahkan, di dalam Al-Quran, berbuat baik dengan ikhlas diilustrasikan seperti berdagang dengan Allah. Kebaikan yang kita lakukan akan mendatangkan keuntungan. Kenapa?
Karena seperti tadi disebutkan bahwa pahala kebaikan yang dilandasi keikhlasan akan terus dilipatgandakan. Tentu, itu pun sesuai dengan kualitas amal yang kita lakukan.
Berbuat baik adalah sedekah. Allah telah menyatakan bahwa orang yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian atau kebangkrutan. Justru bersedekah membuat manusia kaya.
Dalam konsep sedekah, Allah menggambarkan perhitungan yang berlipat ganda sebagaimana perhitungan amal yang telah diuraikan sebelumnya. Allah menyebut bersedekah ibarat sebulir padi yang bertumbuh menjadi 70 kali atau bertumbuh hingga 100 kali, bahkan 700 kali.
Akan tetapi, harus diingat, bahwa poin pentingnya bukan pada seberapa besar balasan yang akan kita terima setelah berbuat baik. Biarlah itu menjadi urusan Allah.
Namun, pelajaran yang kita dapat adalah—sekali lagi—setiap perbuatan baik dan buruk selalu akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Allah Maha Penghitung segalanya sehingga urusan hitung-menghitung jumlah balasan yang akan kita terima, biarlah hanya Allah yang tahu.
Tugas kita sekarang adalah mengukur diri sendiri. Apakah perbuatan yang kita lakukan layak mendapat balasan kebaikan atau keburukan.
Ukurlah dengan alat ukur yang kita miliki dalam diri masing-masing, yaitu hati nurani. Hati nurani diciptakan Allah untuk mengukur seluruh amal yang kita lakukan setiap hari.
Bertanya pada Diri Sendiri
Setiap kali kita berbuat sesuatu, jangan tanyakan orang lain, tapi tanyalah hati sendiri!
Hati nurani tidak akan bisa membohongi diri sendiri. Sejahat-jahatnya manusia, hatinya tidak akan pernah bisa berbohong. Jadi, sesungguhnya setiap manusia tahu, apakah perbuatan yang dilakukannya itu baik ataukah buruk.
Begitu pula saat kita menanyakan pada diri kita sendiri mengenai seberapa pantas perbuatan kita mendapat balasan. Hati nurani tahu. Hati nurani akan menjawab bahwa balasan yang pantas kita terima sesuai dengan kualitas perbuatan tersebut.
Jadi, beramal bukan perkara kuantitas pahala yang diharapkan dan kuantitas dosa yang ditakuti, namun tentang kualitas perbuatan yang dilakukan. Semakin baik kualitasnya, maka balasan yang diberikan Allah pun akan setimpal, adil, dan tidak akan pernah berkurang.
Nah, jadilah kafaa binafsika -- Cukup oleh dirimu saja mengukur kualitas amal itu. Jika masih jauh dari berkualitas, cobalah mulai dari sekarang. Jika merasa masih kurang, tingkatkan. Jika merasa telah berkualitas, jangan pernah merasa cukup dan puas.
Jika kita telah bisa mengukur kualitas itu, maka kita tahu bahwa amal perbuatan kita sejatinya hanya ditentukan oleh diri kita sendiri. Jangan pernah menuding pihak lain saat kita terjerembab dalam perbuatan buruk, dosa, dan maksiat.
Setiap kali memasuki bulan Februari setiap tahunnya, sebagian di antara kita pasti ada yang merasakan sesuatu yang spesial. Di pekan kedua bulan tersebut, ada sebuah peringatan yang biasa dirayakan oleh muda-mudi yang tengah dirundung cinta. Ya, pasti tidak asing dengan hari Valentine.
Perayaan ini adalah sesuatu yang lumrah.
Di televisi banyak acara khusus edisi Valentine yang dihiasi dengan kisah cinta. Ada cowok yang “nembak” gebetannya di hari spesial. Ada yang jadian. Ada yang tunangan. Ada pula yang menikah. Semua akan merasa bahagia karena momen tersebut bertepatan dengan hari Valentine.
Belum lagi pusat perbelanjaan, mal, kafe, dan pusat hiburan lainnya, merasa tidak mau kalah untuk ikut merayakan hari kasih sayang ini. Beragam diskon ditawarkan. Aneka promosi dijajal. Tujuannya, agar pasangan yang sedang merayakan “hari raya”-nya bisa memperoleh kebahagiaan.
Perayaan yang tidak pernah tercatat dalam sejarah Islam ini pun hanya menjadi ajang merayakan pergaulan bebas. Banyak pasangan muda, remaja, bahkan masih anak-anak, terdorong untuk melakukan seks bebas dan hubungan berisiko. Mengikuti hawa nafsu demi sebuah tren. Tak mau belajar demi hanya disebut kekinian.
Itulah fenomena yang sangat lumrah di dalam kehidupan kita saat ini. Saat tergelincir dalam hawa nafsu, masihkah kita akan menyalahkan setan sebagai satu-satunya biang kerok dari perbuatan buruk yang kita lakukan?
Jika hati nurani telah berkata bahwa itu keliru, kita tinggal menggerakkan tubuh kita untuk tidak melakukannya. Ikuti kata hati. Perbuatan baik akan memberikan kebaikan. Maka, kerjakanlah. Sebaliknya, perbuatan buruk hanya memberikan keburukan. Maka, tinggalkanlah.
Jika siap mendapatkan keburukan, baik sekarang maupun di hari yang akan datang, silakan hiduplah semaunya. Jika tubuh kita merasa kuat atas semua tempaan, termasuk siksa neraka, jangan hiraukan perintah Allah. Itulah yang Allah katakan bahwa perbuatan manusia pada akhirnya akan kembali pada dirinya.
Ingat, kebaikan bukanlah untuk Allah, melainkan untuk diri kita sendiri. Kita beribadah atau tidak, Allah tidak akan rugi. Toh, Allah Mahakaya. Dia memiliki segalanya sehingga tidak membutuhkan apapun, termasuk ibadah yang kita lakukan.
Lakukan Kebaikan untuk Semua
Suatu hari, amirul mukminin Umar bin Khattab Ra. blusukan ke suatu kampung. Di kampung tersebut, dia bertemu dengan seorang anak penggembala kambing. Ratusan kambing digembalakannya.
Timbullah niat hati amirul mukminin untuk menguji si anak gembala.
“Hai, anak muda, kambing siapakah ini?” tanya Umar.
“Ini kambing milik majikanku, Tuan,” jawabnya.
“Wah, betapa banyak kambing-kambingnya,” kata Umar lagi.
Si anak gembala diam tak mengerti.
“Anak muda, bagaimana kalau kambing ini aku beli?” kata Umar sambil menunjuk seekor kambing.
“Wah, Tuan. Tidak bisa,” jawab si anak gembala
“Kenapa tidak bisa? Bilang saja kepada majikanmu, seekor kambingnya hilang atau dimakan serigala saat kau sedang mengembalakannya. Kambing ini begitu banyak. Majikanmu pasti tidak akan mengetahuinya,” uji Umar.
“Memang betul, Tuan, majikanku tidak akan mengetahuinya,” kata si anak gembala.
“Ya, kalau begitu bilang saja ada seekor kambingnya yang hilang. Aku akan memberimu uang pembeliannya,” goda Umar.
“Tuan, memang benar aku bisa membohongi majikanku. Lantas, bagaimana dengan Allah?” bantah si anak gembala itu.
Begitu mendengar jawaban si anak gembala, amirul mukminin Umar bin Khattab terharu hatinya. Dia bangga memiliki rakyat yang teguh memegang keimanan, meskipun si anak itu hanya seorang budak. Dengan berkaca-kaca, Umar bin Khattab menghampiri si anak gembala. Dia pun berkata, “Karena keimananmu, aku bebaskan kau wahai anak muda. Jadilah kau orang merdeka.”
Umar bin Khattab pun menemui majikan si anak gembala dan menebusnya untuk memerdekakan si anak gembala.
Kisah tersebut memberikan sebuah pelajaran berharga kepada kita. Keimanan yang dimiliki si anak gembala tidak cukup berhenti di mulut saja. Keimanannya telah merasuk ke dalam jiwa.
Dari kisah itu, kita belajar bahwa keimanan bukan sekadar dikatakan, diumbar, atau hanya menjadi label semata. Keimanan harus diikuti dengan bukti nyata, yaitu dalam sikap kita sehari-hari. Itulah seorang mukmin sebenarnya.
Keimanan tidak hanya berhenti pada ikrar semata. Iman masuk ke dalam jiwa dan kita tunjukkan ke dalam perilaku kita sehari-hari. Menaati perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mencipta akhlak mulia, sebagai muslim sejati.
Namun, jika kita belajar dari kisah si anak gembala tersebut, menjadi mukmin yang muslim saja ternyata tidak cukup. Si anak gembala menyadari bahwa keislaman yang dia miliki harus memancar dalam setiap perilakunya sehari-hari yang dikenal dengan ihsan. Maka, dia adalah seorang muhsin sejati.
Rasul Saw telah berpesan mengenai ihsan. Beliau berkata bahwa ihsan adalah menyembah Allah seolah-olah kita bisa melihat Allah. Jika tidak mampu melihat Allah, maka berbuatlah dengan keyakinan bahwa Allah selalu melihat apa yang kita lakukan.
Keyakinan seperti inilah yang akan membuat ibadah kita memiliki dampak nyata. Ibadah tidak hanya menjadi ritual privat, hubungan antara manusia dengan Allah semata. Tidak hanya berhenti di situ, ibadah yang kita lakukan harus dapat memunculkan kesalehan sosial. Artinya, ibadah yang dilakukan secara personal tapi memberikan efek untuk orang-orang yang ada di sekitar kita.
Itulah paket yang sempurna. Menjadi mukmin, muslim, dan muhsin. Karena bagaimanaun, menjadi seorang yang beriman tidak bisa dilepaskan dari perbuatan amal saleh.
Rasul Saw pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik Ra., “Tidak sempurna iman seseorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari).
Begitulah iman. Tidak akan sempurna iman kita jika kita tidak menunjukkan rasa sayang pada sesama. Percuma saja, kita mengaku beriman kepada Allah, tetapi masih menyakiti orang lain melalui ucapan dan perbuatan.
Kita lihat sebuah contoh yang amat sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Hari ini, siapa yang tidak memiliki media sosial?
Demi tuntutan menjadi “smart” karena memiliki smartphone, kita biasa berinteraksi dengan orang lain lewat media sosial, baik dengan teman yang dikenal maupun tidak. Misalnya, stalking foto-foto orang lain dalam media sosial Instagram, termasuk foto artis idola kita.
Kita begitu senang dengan foto yang diuggah sang idola. Kita memuji dan memujanya, bahkan berandai-andai menjadi secantik, sepopuler, dan sekaya dia. Semua tindakan, mulai gaya berbusana, makan, berbicara, kita ikuti. Tidak lupa, kita pun meninggalkan komentar di foto-fotonya dengan kalimat penuh pujian dan penghambaan.
Masalah muncul saat seseorang menunjukkan rasa tidak sukanya kepada idola kita. Orang yang tergolong haters tersebut meninggalkan komentar yang buruk, pedas, atau sinis pada salah satu foto yang diunggah. Tiba-tiba saja kita merasa geram. Seolah tidak boleh ada yang mengusik sang idola, kita pun pasang badan untuk membelanya.
Kita pun akan berkata-kata kasar. Mencaci orang tersebut karena tidak terima idolanya “disakiti”. Perang komentar pun terjadi. Saling bully antara fans dan haters tak terhindarkan. Kita pun lupa bahwa sang idola sih tenang-tenang saja dengan tingkah polah para fans dan haters itu. Tak terusik sedikit pun.
Peristiwa sederhana yang kian menggejala ini adalah salah satu contoh nyata. Orang beriman tidak akan melakukan hal yang sedemikian memalukan diri sendiri. Cyber war alias perang argumentasi di media sosial menunjukkan bahwa iman kita terkalahkan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu untuk menunjukkan diri lebih baik daripada yang lain.
Maka, berhati-hatilah dalam bersikap. Kencangkan rem dalam diri kita masing-masing. Jangan sampai iman begitu lemah sehingga tidak bisa kita buktikan dalam perbuatan sehari-hari.
Kesejatian seorang mukmin akan diukur dari perilakunya. Jika imannya hanya berhenti di mulut saja, itulah pembohongan publik. Allah menyebutnya sebagai munafik alias hipokrit.
Rasul Saw pernah bersabda, “Orang Islam adalah orang yang membuat orang lain selamat dari bahaya lisan dan tangannya, dan seorang muhajir (yang pindah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari).
Ya, begitulah orang Islam. Seorang muslim akan membuat orang lain merasa “aman” dari bahaya yang ditimbulkan lisan dan tangannya. Itulah sebabnya, Islam erat kaitannya dengan iman karena iman dan aman berasal dari akar kata yang sama.
Maka, seseorang yang mengaku beriman akan menjamin kehidupannya dan kehidupan orang-orang di sekelilingnya berada dalam kondisi yang aman. Terhindar dari saling menyakiti, apalagi menzalimi. Dengan demikian, akan tercipta sebuah kehidupan yang damai.
Lakukan Kebaikan Tanpa Pamrih
Pentingnya mengejawantahkan keimanan dalam tindakan-tindakan nyata yang berdampak bagi kebaikan makhluk lainnya tidak dimaksudkan untuk mengumbar keimanan itu pada orang lain. Keimanan cukup dirasakan dalam diri, diikrarkan oleh lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan.
Suatu hari Rasul Saw berdialog dengan sahabatnya. Rasul menyatakan bahwa jumlah manusia yang saleh di setiap zaman adalah sama. Jika seorang saleh meninggal, maka Allah segera menggantikan kedudukannya pada seorang saleh yang baru.
Rasul juga berkata bahwa di setiap tempat yang ditinggali oleh seorang saleh, maka Allah melepaskan 70 bencana dari tempat tersebut. Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan tanaman pun karena adanya orang saleh.
Sahabatnya, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, berat sekali kalimatmu. Karena orang saleh, Allah menghidupkan dan mematikan seseorang.”
Rasul pun memberikan penjelasan sederhana. Beliau mencontohkan, apabila terdapat seseorang yang sakit parah dan maut hampir menjemput lalu datanglah orang-orang saleh untuk mendoakan, maka Allah akan menyembuhkannya karena doa mereka.
Bahkan, menurut Rasul, tanaman yang mati pun akan hidup kembali.
Lantas apa yang membuat orang tersebut menjadi saleh?
Rasul menjelaskan bahwa orang-orang tersebut mencapai derajat mulia bukan karena shalat dan ibadahnya yang banyak. Mereka mencapai derajat paling tinggi karena dua hal.
Pertama karena kedermawanan, kedua karena hati yang bersih saat berhadapan dengan kaum muslimin. Maka dari itu, kita dapat mengambil pelajaran besar bahwa, Hati yang bersih adalah permulaan untuk amal saleh yang akan kita lakukan. Hati yang bersih akan membebaskan kita dari beramal pamrih. Hati yang bersih pula yang menjauhkan kita dari prasangka dan curiga pada sesama muslim.
Akhirulkalam, kita renungkan firman-Nya berikut, “Dan barang siapa mengerjakan kebaikan sedang dia (dalam keadaan) beriman, maka dia tidak khawatir akan perlakuan zalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya” (QS. Thaha [20]:112).