Duduk bersama di acara Stadium General 2022-2023 Universitas Surabaya (UBAYA), Rabu (31/8), Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf sepakat bahwa agenda penting kedepan adalah membangun persaudaraan dan persatuan.
Sebagai pembicara pertama, Haedar Nashir menjelaskan tentang prasyarat masa depan cerah Indonesia. Dalam pemaparannya, Haedar mengatakan bahwa untuk mencapai masa depan cerah Indonesia diperlukan tiga hal yaitu, aktualisasi nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara, merawat kemerdekaan dan bingkai road map kebangsaan.
Pada kesempatan ini Guru Besar Bidang Sosiologi ini menegaskan bahwa, yang tidak kalah penting dari itu semua adalah membangun persatuan dan kesatuan. Menurutnya, sebagai negara dengan kebhinekaan yang luas biasa, harus ada penyemibang yaitu persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, dalam berbangsa dan bernegara harus ada kesepakatan dan persaksian.
Terkait itu, di Muhammadiyah kemudian muncullah konsep Pancasila sebagai Dar al-Ahdi Wa al-Syahadah. Darul ahdi atau negara kesepakatan tidak cukup bila tidak dibarengi dengan al-syahadah atau persaksian. memaknai al-syahadah sebagai keterlibatan langsung dalam mengatasi berbagai masalah, bekerja keras dalam mewujudkan kemaslahatan, dan aksi partisipatoris kaum muslim dalam membangun bangsa Indonesia.
Haedar tegas menyatakan bahwa konsep bhineka tunggal ika itu lebih tepat ketimbang pandangan multikulturalisme. Dia menjelaskan bahwa, multikulturalisme itu hanya merayakan perbedaan atau kebhinekaan, tetapi lupa untuk merayakan persatuan. Merayakan di sini bukan dalam arti pesat pora, tapi merancang bangun.
“Bangsa besar seperti kita ini tidak mungkin tanpa gesekan, pasti ada gesekan. Sesama umat beragama saja ada gesekan. Tetapi kita perlu mengkonstruksinya, mana yang itu dinamika, dan mana yang itu menjadi sesuatu poin yang membuat kita pecah.” Ungkap Haedar.
Sementara itu, Yahya Cholil Staquf dalam paparannya menyinggung tentang pengistilahan yang menyatakan bahwa Muhammadiyah dan NU merupakan dua sayap garuda. Menurutnya, jika ingin dua sayap ini membawa Indonesia ‘terbang tinggi’ maka dalam urusan yang dinamis sudah seyogyanya terdapat perbedaan.
Dinamika yang terjadi antara Muhammadiyah dan NU bukanlah sesuatu yang diperuncing, sebab sebagaimana yang disampaikan oleh Haedar Nashir hal itu adalah wajar termasuk di dalam tubuh internal umat Islam. Karena meski terdapat perbedaan, tapi bagaimanapun juga antara Muhammadiyah dan NU terikat dalam sebuah ikatan ukhuwah islamiah atau persaudaraan keislaman.
Ulama yang akrab disapa Gus Yahya ini menjelaskan, bahwa di NU terkait dengan konsep persaudaraan terdapat tiga dimensi. Sebagaimana Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Kiai Muhammad Sidiq meletakkan trilogi persaudaraan khususnya umat Islam, yaitu persaudaraan keislaman (ukhuwah islamiah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah bashariah).
“NU dan Muhammadiyah ini tidak mungkin bisa rukun kalau sama-sama tidak menyadari persaudaraan kebangsaan,…. Kenapa kami bisa rukun ? karena kami sadar bahwa kita ini punya tanggung jawab atas bangsa ini, sehingga harus rukun mau tidak mau,” ucapnya.
Sumber: muhammadiyah.or.id