Iklan

Iklan

,

Iklan

Bagaimana Semestinya Praktik Tahlilan Itu? Inilah Pandangan Muhammadiyah

Redaksi
Minggu, 25 Desember 2022, 10:12 WIB Last Updated 2022-12-25T03:12:20Z


YOGYAKARTA
— Muhammadiyah tidak pernah melarang membaca kalimat tahlil “La Ilaha Illallah” (tiada Tuhan selain Allah).B ahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. 


Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 152 dan QS. al-Ahzab ayat 41. Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan. 


Rasul saw besabda: “maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah, Bab al-Masajid fi al-Buyut, dari ‘Itban ibn Malik).


Berdasarkan keterangan di atas, maka memperbanyak tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, bahkan dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian.


Meski demikian, jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Sebab tahlil harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.


Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang ialah ucapacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).


Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi saw tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah QS. Al Baqarah ayat 208.


Fatwa Tarjih menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syari’at Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lainnya.***

Iklan