“…Bagaimana agama sebagai wacana keimanan mampu melakukan pergulatan sejarah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga agama tetap mempunyai kekuatan profetik untuk mengubah keadaan dan menjadi hidayah bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan berkeadilan.” (Moeslim, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan, 2009: 43-44).
JAKARTA - Moeslim Abdurrahman adalah seorang intelektual muslim di Indonesia. Ia merupakan tokoh Muhammadiyah yang menjadi mentor bagi gerakan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).
Moeslim Abdurrahman lahir di Lamongan pada 8 Agustus 1948. Ia mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Lamongan. Selesai dari SR, ia masuk ke Pesantren Raudlatul Ilmiyah di Kertosono.
Ia kemudian menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam. Kampus tersebut kini berubah menjadi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Setelah dari UMS, ia bertolak ke Amerika Serikat. Ia mengambil studi magister dan doktor antropologi di University of Illinois, Urbana. Moeslim Abdurrahman adalah aktivis Muhammadiyah. Ia aktif di Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan PP Muhammadiyah.
Ketika Maarif Institute berdiri pada tahun 2003, ia dipercaya sebagai direktur. Ia juga menjadi direktur Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS) dan Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).
Ia menjadi dosen tamu di Pascasarjana Studi Antropologi dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) sdrta Pascasarjana UMS.
Islam transformatif adalah Islam yang memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan kemanusiaan. Gagasan tersebut berangkat dari kritik terhadap teologi tradisional yang terjebak pada persoalan "halal-haram".
Sementara itu, teologi tradisional tidak menganggap bahwa penderitaan umat perlu diperhatikan. Moeslim Abdurrahman mencoba melakukan pembacaan firman-firman Allah secara kritis, dialektis, dan reflektif. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menyikapi krisis sosial dan krisis kemanusiaan di Indonesia.
Hasnan Bahtiar menulis di laman ibtimes.id, Kang Moeslim menjelaskan bahwa, teologi Islam memiliki beberapa syarat, agar supaya benar-benar berfungsi secara transformatif. Syarat tersebut adalah:
Pertama, teologi Islam harus bervisi sosial-emansipatoris.
Kedua, memerlukan kontekstualisasi nilai etika kitab suci, serta bukan tekstualisasi.
Ketiga, peranan liberatif agama ini merupakan hasil daripada dialog terbuka antara teks dan konteks, sehingga melahirkan suatu penghayatan terbaik yang memihak kemanusiaan.
Keempat, asas ortodoksi Islam harus dimaknakan sebagai tumpuan untuk kepentingan umat (yang bersifat bervisi dan futuristik).
Kelima, orientasi keislaman bukan sekadar ortodoksi tetapi juga ortopraksi.
Keenam, para intelektual, komuniti, serta institusinya harus berfungsi kritis khususnya terhadap pengaruh struktur yang dominatif, hegemonik dan menindas.
Oleh kerana itu, menurut hematnya, ijtihad menjadi jalan terbaik dalam rangka meluruskan setiap bentuk penyimpangan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan (Moeslim, 1989: 160).
KARYA TULIS
- Menafsirkan Islam dalam Tradisi dan Persoalan Umat (1990)
- Kang Thowil dan Siti Marginal (1995)
- Islam Transformatif (1995)
- Semarak Islam, Semarak Demokrasi (1997)
- Islam sebagai Kritik Sosial (2003)
- Islam yang Memihak (2005)
- Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (2009)