JAKARTA -- "Sekarang ini Muhammadiyah sudah seperti pasar. Orang bebas masuk, kemudian buka lapak dan berjualan dagangannya. Ada yang jualan ideologi gerakan, ada yang dagang partai politik, ada juga yang menjajakan aliran agama, dan sebagainya. Setelah jualannya selesai, orang-orang itu pulang, dan besoknya kembali lagi dengan kegiatan serupa. Begitu seterusnya, tapi Muhammadiyah --yang kayak pasar itu-- tidak memperoleh keuntungan apa-apa."
Alinea di atas tadi adalah salah satu ekspresi kekesalan dan sekaligus kekecewaan dari seorang kader Muhammadiyah. Bagi kader yang sejak SMA sudah aktif di Persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan (8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 M), adalah hal yang tidak wajar kalau orang masuk Muhammadiyah untuk menyebarkan paham dan ideologi lain. Pun demikian dengan orang-orang yang sudah lama menjadi anggota atau pimpinan organisasi ini yang kemudian mengembangkan ajaran dan nilai-nilai yang menafikan Muhammadiyah, maka hal tersebut tidak memiliki nalar organisasi.
Pasar atau inang?
Kutipan di awal tulisan ini bisa dikatakan mewakili kemasygulan warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah yang loyal dan committed dengan identitas, visi, dan misi Persyarikatan. Kendati pada dasarnya kekhawatiran mengenai masuk dan munculnya paham dan kepentingan non-Muhammadiyah ke dalam tubuh Persyarikatan ini tempo doeloe, juga pernah terjadi. Hal tersebut bisa disimak dari dirumuskannya nilai-nilai ideologi, paham kagamaan, dan identitas gerakan seperti Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946/1951), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969), dan Khittah Perjuangan Muhammadiyah (1971). Keputusan dan kebijakan resmi organisasi ini merupakan respons Muhammadiyah untuk mempertahankan jati diri dan mengayomi warganya, sehingga bisa tetap eksis dan fungsional dalam peran keumatan dan kebangsaan.
Dalam konteks saat ini, anasir yang masuk ke tubuh Muhammadiyah dan berupaya untuk memanfaatkan potensi dan sumberdayanya secara sepihak, terlihat lebih kompleks. Di satu sisi, terkait dengan gejala merapuhnya identitas dan ideologi di sebagian kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah. Di sisi lain, tidak lepas dari masuknya kepentingan politik dan agenda kekuasaan partai atau kelompok tertentu di luar Muhammadiyah. Hemat saya, kalau dikategorikan secara lebih eksplisit dan tegas dari model intervensi dan infiltrasi ke dalam tubuh Muhammadiyah itu, sebetulnya bukan dengan istilah ''pasar'' -seperti yang diungkapkan oleh salah seorang kader Muhammadiyah tadi-- tetapi sebagai ''inang''. Kalau disebut pasar atau menganggap Muhammadiyah sebagai pasar, semestinya ada kontrak dan perjanjian antara pemilik dan pengelola pasar dengan penyewa kios atau lapak. Dalam kontrak dan perjanjian tersebut ditentukan aturan main, tata tertib, dan pembagian keuntungan yang tidak merugikan kedua belah pihak.
Kenyataannya, jangankan kontrak perjanjian atau nota kesepahaman, ucapan permisi atau kulo nuwun pun tidak. Sehingga Muhammadiyah bukan saja tidak memperoleh keuntungan apa-apa, tetapi malah justru dirusak dan mengalami kerugian materil dan moril. Karena itu, orang-orang atau kelompok-kelompok yang berlabelkan partai politik atau gerakan keagamaan tertentu tadi adalah benalu atau parasit yang menjadikan Muhammadiyah sebagi inangnya. Alah limau oleh benalu, begitu kata peribahasa.
Fenomena benalu dan parasit di Muhammadiyah ini semakin kentara dan kian dirasakan oleh warga dan pimpinan Persyarikatan sejak masa-masa menjelang Pemilu 2004 --yang hingga sekarang eksesnya masih terjadi. Belajar dari pengalaman pemilu kemarin, orang-orang Muhammadiyah di berbagai tempat dan daerah sudah tahu dan paham kelompok dan partai politik mana yang tanpa malu menjadikan Persyarikatan ini sebagai inang.
Benalu dan parasit ini menggerogoti Muhammadiyah, baik pada level struktur kepemimpinan Persyarikatan dan ortomnya, maupun pada amal-amal usaha Muhammadiyah yang strategis seperti lembaga pendidikan Muhammadiyah (sekolah dan perguruan tinggi) dan rumah sakit atau balai kesehatan milik Muhammadiyah. Sepertinya ada upaya sistematis dan terencana dari para benalu dan parasit tersebut untuk mengkooptasi Muhammadiyah dan melakukan pembusukan dari dalam bagi kepentingan politik dan agenda jangka panjang untuk meraih kekuasaan di negeri ini.
Ada hipotesis, Pemilu 2009 menjadi arah dan jangkauan bagi gerakan intervensi dan infiltrasi para benalu dan parasit itu. Orang-orang partai politik dan kelompok-kelompok Islam tertentu yang sudah berada atau berhasil masuk ke dalam struktur kepemimpinan Muhammadiyah atau bekerja di amal usaha Muhammadiyah ditengarai suka menyalahgunakan amanah dan menyelewengkan jabatan yang merugikan Persyarikatan, baik secara moril maupun materil.
Tenda bangsa
Menyimak perilaku politik dan kepentingan tersembunyi dari para benalu dan parasit itu, hemat saya seluruh jajaran pimpinan, kader, dan warga Muhammadiyah jangan terus tinggal diam. Harus segera ada langkah dan tindakan konkret sebagai respons untuk menyelamatkan Muhammadiyah dan melindungi seluruh anggota dan simpatisannya. Respons ini bukan saja untuk kepentingan intern Persyarikatan, tetapi juga untuk meneguhkan kembali eksistensi Muhammadiyah sebagai tenda bangsa.
Pasca-Muktamar Muhammadiyah di Jakarta (2000) dan di Malang (2005), kesadaran dan visi untuk semakin artikulatif dan partisipatif guna menyelamatkan masa depan bangsa ini sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Berbagai statement dan sikap pimpinan puncak Muhammadiyah, paling tidak sejak era Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, dan sekarang Din Syamsuddin, selalu menegaskan keberadaan dan pengkhidmatan Muhammadiyah untuk senantiasa ikut andil dalam menyelamatkan negara-bangsa ini. Apalagi, 'saham' sejarah Muhammadiyah sejak dini telah didedikasikan bagi kemajuan umat dan kebangunan bangsa ini.
Sekarang, di tengah-tengah pusaran bangsa dengan dinamika dan problematikanya, maka --sebagai tenda bangsa-- Muhammadiyah harus bisa lebih membuktikan kontribusi dan gagasan-gagasan alternatifnya. Patut dicatat bahwa selama ini yang menjadi program dan kebijakan organisasi Muhammadiyah tidak pernah keluar dari bingkai kebangsaan dan keumatan. Muhammadiyah punya modal sejarah untuk hal itu, paling tidak, karena usianya yang jauh lebih tua daripada umur republik ini.
Mengingat tidak ringan dan tidak mudahnya menjalankan agenda kebangsaan dan keumatan itu, maka Muhammadiyah harus membersihkan diri dari rongrongan para benalu dan parasit tadi. Muhammadiyah harus melakukan semacam imunisasi ideologis dan vaksinasi identitas gerakan terhadap seluruh pimpinan, kader, dan anggotanya --baik yang berada dalam struktur kepemimpinan maupun di amal usahanya. Dengan penyegaran dan peneguhan nilai-nilai ideologi dan identitas gerakan secara kritis dan mencerahkan ini, maka semua jajaran dan warga Persyarikatan bisa kebal dan imun dari serangan virus-virus kelompok ideologi dan partai politik yang mau mensubordinasi Muhammadiyah.
Di samping itu, upaya lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah melakukan pembinaan dan pembersihan terhadap oknum pimpinan dan anggota yang suka membawa-bawa misi dan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaannya ke dalam Muhammadiyah, tetapi ketika di luar bertepuk dada mendeskreditkan Persyarikatan. Sesuai dengan tingkat dan bobot masalah yang merongrong Muhammadiyah, maka responsnya bisa dengan langkah subordinasi, rehabilitasi, atau amputasi --yang tentu saja dilakukan oleh Muhammadiyah secara bijak, santun, dan bermartabat, tetapi tegas.
Pamungkas, sebagai catatan milad Muhammadiyah ke-96 pada 8 Dzulhijjah 1426 H (yang bertepatan dengan 8 Januari 2006), semua dan siapa saja yang mau berkhidmat di Muhammadiyah harus konsisten dan committed dengan identitas gerakan dan ideologi Persyarikatan serta visi keumatan dan kebangsaannya. Sebagai gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid, nilai dan cita-cita Muhammadiyah mesti diejawantahkan dalam konteks dan cakupan yang luas, sehingga bisa bermakna serta menjadi rahmat dan maslahat bagi semua. Karena itu, camkan saudara-saudaraku, Muhammadiyah bukan ''pasar'' atau apalagi ''inang''! Nashrun minal-Lahi
Penulis: Asep Purnama Bahtiar, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.