JAKARTA -- Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2024, cukup istimewa, sebab berada dalam situasi politik yang cukup panas. Hanya selisih lima hari menuju pencoblosan Presiden-Wakil Presiden, DPD RI, dan DPR. Situasi ini memberikan dampak terhadap peringatan HPN sendiri yang tentu saja harus disikapi secara arif.
Mungkin saja ada nuansa ketidak nyamanan bagaimana penyelenggaraan HPN dalam situasi yang sedang memanas. Jangankan penyelenggaraan HPN, sikap berbagai Perguruan Tinggi yang dilakukan oleh ratusan Guru Besar pun dalam situasi seperti ini kemudian dituduh menjadi bagian dari gerakan politik. Karenya menjaga suasana tetap kondusif dalam situasi seperti ini sepertinya menjadi pilihan tepat.
Ketiadaan “pesta” insan pers yang biasayanya dilakukan setahun sekali, diharapkan bukan dalam konteks pembungkaman, tetapi justru bagaimana para punggawa pers ini menjaga agar pesta demokrasi berjalan lancar. Pada saat yang sama, tentu kita juga sangat berharap jika pada saat situasi yang penuh keberpihakan ini, pers selalu menjadi pengawal demokrasi, tidak terbawa arus dan partisan.
Netralitas, walaupun tidak sepenuhnya dapat dijaga oleh media, tetapi kita tentu saja berharap agar konten media berkualitas dan memenuhi standar jurnalistik yang baik. Di tengah perjuangan produk jurnalisme berkualitas yang didorong oleh Dewan Pers, kita berharap agar insan pers nya sendiri tetap berkomitmen menjaga produk jurnalistiknya.
Apa yang menjadi perjuangan dalam melawan platform global, merupakan perjuangan panjang yang tentu saja tidak sederhana. Perlu dorongan semua insan pers dan institusi terkait, terutama negara untuk memberikan support yang diperlukan untuk itu. Kemudian menghadapi banjir informasi yang menjadi dampak dari media sosial, yang mengarah pada kualitas informasi, hoaks dan mis informasi di kalangan masyarakat. Menghadapi hal itu, juga bukan perkara sederhana.
Apa yang diperjuangkan oleh jurnalis tanah air saat ini tidak berhenti disitu. Situasi politik seperti menjelang Pemilu seperti saat ini, juga terkadang menjadi batu sandungan untuk memastikan pers berjalan baik-baik saja. Satu dan lain halnya yang menjadi catatan penting dalam situasi seperti ini adalah bagaimana menahan keberpihakan sebagai dampak dari kepemilikan media yang cenderung partisan.
Sudah menjadi rahasia umum dimana media massa tidak hanya menjadi institusi netral karena persoalan kepemilikannya yang tidak steril. Para pemilik media menjadi bagian yang sangat menentukan ke mana media akan diarahkan, bagaimana konten diproduksi, peristiwa politik apa yang harus diangkat, semuanya sangat ditentukan oleh keberpihakan pemiliknya.
Kita dapat memastikan bagaimana sesungguhnya para jurnalis terdiri dari orang-orang yang memiliki komitment kuat dengan profesinya, selalu menjaga etika dan kepatutan dalam menjalani pekerjaannya, menjunjung moralitas dan berorientasi pada kualitas. Namun dalam dunia industri, ternyata itu pun belum menjadi faktor penentu agar produk jurnalistik tetap baik dan netral. Masih ada faktor luar yang turut mempengaruhi bagaimana kinerja jurnalis ini berada pada koridornya.
Isyarat akan kondisi ini sebenarnya sudah diingatkan Shoemaker dan Reese (1996) jika jurnalis bukanlah satu-satunya penentu kehadiran, ketiadaan, dan arah kemana berita itu dibuat. Ada faktor dominan yang terkadang berada di luar kuasa aparatus dimana keberadaan pemilik yang tidak steril dari ideologi dan kepentingannya, turut menentukan arah media, termasuk warna dari kontennya itu sendiri.
Di sini kita baru paham mengapa susahnya menjaga netralitas produk jurnalistik di tengah situasi yang sedang riuh. Setiap Pemilu semua elemen masyarakat akan terbelah, mereka terbagi pada kubu-kubu tertentu sesuai ketersediaan peserta Pemilu, terutama Capres dan Cawapres. Sesuatu yang sesungguhnya wajar terjadi dan menjadi penanda mesin demokrasi berjalan dengan baik. Yang menjadi soal jika pesta tersebut juga membelah kalangan tertentu yang seharusnya tetap menjadi pengawas berjalannya demokrasi.
Walaupun bukan penyelenggara, juga bukan PNS dan aparat yang seharusnya berada di tengah, kalangan pers juga idealnya menjadi pemandu publik untuk memastikan semua elemen informasi ini tersaji dengan baik dan berkualitas. Di antara syarat kualitas ada pada aspek netralitas, tidak terwarnai oleh keberpihakan dan subjektifitas yang berlebihan.
Perlu juga mebahasakan bagaimana dunia jurnalistik ini juga tetap berada pada relnya yang senantiasa menjaga kualitas demokrasi, mengawasi jalannya penyelenggaraan, dan juga mengkritisi jika ada pelanggaran. Pers yang diisi oleh insan-insan terdidik, terlatih, dan memiliki integritas tinggi, merupakan wujud dari harapan publik akan hadirnya kualitas informasi yang mencerahkan.
Kubu-kubu yang terbangun di tingkat elit para pemilik media, pada dasarnya tidak dapat dihindari, sebab mungkin saja sudah makomnya ada di situ. Mereka bertransaksi, melakukan lobi, menjadi bagian dari kubu tertentu, demi mempertahankan industrinya. Namun bagaimana keberpihakan di tingkat elit ini tidak menjatuhkan marwah tradisi jurnalistik yang dibangun di internal medianya.
Perbincangan kita tentang kualitas produk jurnalistik sebenarnya semakin berat dengan hadirnya berbagai platform baru, sebagai konsekwensi dari perkembangan teknologi. Menghadapi konten media sosial saja, mungkin para jurnalis harus berjibaku, memastikan bahwa produk jurnalistik lebih penting daripada informasi yang terkadang menyesatkan.
Tetapi pada masa Pemilu, kita masih dihadapkan pada persoalan paling klasik dalam sejarah pers dunia yaitu netralitas dari persoalan politik kekuasaan. Faktanya jurnalis mungkin tidak berhadapan dengan pemilik media yang menggiringnya, tetapi justru bergandengan. Maka sulit di sini bagaimana membagun narasi yang berbeda (baca independen) dari pemilik, bukan dengan musuh seperti hal nya pemilik platofrm raksasa atau robot dan pihak luar yang mendegradasi kualitas informasi.
Maka sampai disini, saya juga baru paham bahwa membangun kualitas produk jurnalistik tidak bisa dilakukan oleh para jurnalisnya semata, tetapi juga harus ada komitmen dari para pemilik, regulator, dan seluruh pihak yang berkepentingan dengan itu. Dengan tanpa menanggalkan aspek subjektifitas, maka produk jurnalistik tetap harus dipelihara demi menjaga marwah dan kehormatannya.
Di HPN tahun ini, walaupun tidak ada hingar bingar dan event besar terkait dengan dunia pers, mudah-mudahan bukan karena tekanan atau pesanan pihak tertentu. Semuanya dilakukan justru sebaliknya, untuk menghindari situasi yang tidak diharapkan, dan demi menjaga kualitas serta netralitas pers di tengah suhu politik yang semakin mendidih. Semoga!
Penulis: Roni Tabroni, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah.