JAKARTA -- Menarik sekali apa yang telah di tulis oleh Pak Anwar Abbas dan juga harapan-harapan beliau pada hasil Muktamar 2010 tentang halal dan haramnya bunga bank melalui lembaga yang berkompeten, serta harapan pencerahan lainnya yaitu kepeloporan Muhammadiyah dibidang ekonomi Islam. Namun dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya pada beliau, perlu kiranya diberikan penajaman-penajaman tentang apa yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah ke depan berkaitan dengan penerapan ekonomi Islam.
Memang tidak salah, kejenuhan terhadap ideologi kapitalis dan sosialis ataupun marxis, khususnya ketidakberdayaan ketiga ideologi tersebut dalam memberikan solusi ekonomik yang lebih mensejahterakan umat manusia, memaksa kita untuk mencari alternatif lain dalam pengembangan model ekonomi. Sehingga memunculkan banyak kajian, khususnya salah satu alternatif yaitu tentang ekonomi Islam. Diluar negeri muncul banyak tokoh pemikir ekonomi Islam seperti Muhammad Nejatullah Asshidiqi, di sini ada pemikir muda yang inovatif seperti DR. Antonio Syafei, DR. Nadratuzzaman Hosen, MSc dan muncul praktisi ekonomi ekonomi Islam lainnya.
Persoalannya barangkali tidak semudah membalik tangan dengan mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank tetapi tidak jelas dalam aplikasinya di masyarakat. Jauh-jauh hari MUI telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya bunga bank, dimana jelas fatwa tersebut kurang efektif digunakan oleh masyarakat karena keterjebakan pada sistem ekonomi yang ada.
Sedangkan untuk beralih pada lembaga keuangan yang bertuliskan “Bebas Riba” pada kenyataannya lembaga tersebut masih perlu dikaji dan di analisis lebih dalam praktik syari’ahnya. Karena fakta dilapangan dari hasil penelitian mahasiswa dengan jelas menunjukkan bahwa mayoritas lembaga keuangan syari’ah yang ada belum dapat dikatakan menggunakan prinsip syari’ah. Mengapa demikian ?
Ada beberapa argument yang perlu diajukan untuk menjawab mengapa fatwa MUI tentang riba tidak efektif? dan mengapa lembaga keuangan syari’ah belum juga bersyari’ah?
Pertama, bahwa konsep ekonomi Islam yang masih genuine yang sering dibahas oleh semua cendekiawan masih pada dataran yang sangat mendasar. Yaitu konsep dan kaidah-kaidah dasar yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan rumusan yang lebih praktis dan lebih bersifat operasional untuk dapat dipraktekkan lembaga keuangan syari’ah belum ada. Sehingga para praktisi lembaga keuangan syari’ah, bahkan para pakarnya, kalau boleh jujur, secara pragmatis hanya mengemas praktek riba dengan idiom-idiom Islam.
Kebutuhan pragmatis untuk “menghindar dari kerugian” memaksa para praktisi ekonomi Islam untuk menghindari Mudarabah ataupun Musyarakah, dan disisi lain memompa besar-besaran Murabahah . Sehingga banyak transaksi pembiayaan diarahkan pada murabahah, apapun kepentingan pembiayaannya. Hal inilah yang menjadikan Dr. Muhammad Nejatullah Asshidiqi dari Pakistan meragukan kehalalan praktek syari’ah atas murabahah.
Kedua, keterjebakan Indonesia pada sistem kapitalistik global, menjadikan nilai tukar rupiah tidak pernah stabil sehingga besar pengaruhnya terhadap sikap pragmatisme praktisi lembaga keuangan syari’ah yang akhirnya terus mengkalkulasi value rupiah sebagai dasar kebijakannya untuk selalu ber”murabahah”. Objektif memang apabila terjadi kemerosotan value rupiah akan merugikan investasi, sehingga mark up dalam murabahah selalu didasarkan pada laju inflasi sebagai salah satu dasar pertimbangannya.
Menurut pendapat penulis, praktek ekonomi Islam hanya mampu dibangun atas kurs nilai uang yang tetap, flat. Hal ini didasarkan bahwa secara histories konsep dasar ekonomi Islam yang dipraktekan Rasulullah berangkat dari kondisi kurs mata uang yang tetap yaitu dinar ataupun emas. Jika kita memaksakan untuk bertransaksi dengan standar emas, maka beban pengembalian pokok yang harus ditanggung nasabah sangatlah tinggi belum termasuk bagi hasil, karena nilai emas relative terus meningkat dibanding dengan rupiah.
Inilah kendala terbesar dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia. Namun jika Indonesia berencana untuk mengganti sistem kurs rupiah dari kurs mengambang menjadi kurs tetap seperti di Saudi Arabia dan Singapura, maka Indonesia lebih tidak disukai oleh Amerika Serikat. Dan hal inilah yang paling di takuti oleh petinggi-petinggi Indonesia.
Ketiga, tanpa menafikkan kebenaran ajaran Islam, sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi alternative yang lebih mensejahterakan umat, gagasan Founding Fathers Indonesia seperti Drs. Moh. Hatta tentang koperasi perlu dilakukan kajian yang lebih intensif tentang kehalalannya.
Menurut pandangan penulis, koperasi apabila dijalankan secara benar, dari, oleh dan untuk anggota (bukan plus penanam saham) akan lebih dekat kehalalannya ketimbang riba. Karena secara adil justru peminjam terbesar berhak SHU yang besar pula sesuai dengan proporsi kontribusi terhadap laba koperasi yang dimasukkan. Unsur riba nyaris hilang karena pada hakikatnya yang dipinjam adalah modal/milik bersama.
Barangkali koperasi lebih menjadi alternative yang sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia, dan lebih halal walaupun tanpa mengusung idiom-idiom Islam sekalipun. Tentu ini adalah dugaan penulis belaka. Tetapi Muhammadiyah ataupun MUI perlu melakukan kajian terhadap kehalalan atas bunga pinjaman di koperasi secara komprehensif.
Keempat, sikap diam ditempat dan cenderung anti kritik para praktisi lembaga keuangan syari’ah cukup meredam secara efektif kajian terhadap keabsahan praktek syariah lembaga keuangan syari’ah.
Penulis tidak tahu, apakah sikap diam dan anti kritik para praktisi lembaga keuangan syari’ah ini disebabkan karena belum adanya fatwa yang lebih operasional tentang tata cara menjalankan lembaga keuangan syari’ah agar benar-benar syari’ah, atau karena kondisi ketidak jelasan atas keabsahan praktek syari’ah lembaga keuangan syari’ah cukup menguntungkan secara ekonomik sehingga perlu diperlama waktunya.
Peranan Muhammadiyah Kedepan
Muhammadiyah sebagai Ormas terbesar dengan infrastruktur organisasi yang rapi, dengan anggota mayoritas kalangan terdidik dan terpelajar cukup layak untuk secara intensif untuk menyuburkan diskursus tentang ekonomi Islam dan menggali secara mendalam tentang konsep operasionalnya. Kebutuhan akan fatwa dari lembaga terkait seperti Majelis Tarjih, tentang konsep operasional lembaga keuangan syari’ah perlu segera dirumuskan dan di fatwakan untuk selanjutnya dikodifikasikan dalam HPTM.
Konsep-konsep dasar sebagaimana yang bersumberkan dari Al Qur’an dan Sunnah tentang ekonomi Islam sudah cukup jelas untuk tidak perlu diulang-ulang dan di ulas secara terus menerus ditengah kebutuhan yang sangat mendesak tentang konsep operasional yang benar-benar syari’ah.
Menjamurnya lembaga keuangan syari’ah perlu untuk segera diusulkan kepada pemerintah tentang standar pengawasan syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah. Mengingat mu’amalah adalah ibadah, maka ketepatan terhadap proses hingga hasil pada lembaga keuangan syari’ah harus benar-benar sesuai dengan prinsip syari’ah. Lembaga pengawasan keuangan syari’ah yang perlu diusulkan ini akan bertindak sebagaimana polisi, apabila ada lembaga keuangan syari’ah yang tidak berprinsip syari’ah pada dataran konsep dan hakikat operasionalnya maka perlu untuk segera dibekukan, atau dialihnamakan menjadi lembaga keuangan konvensional. Pemikiran ini didasarkan pada kekhawatiran penulis akan fungsi dan kedudukan Dewan Syari’ah baik secara nasional maupun pada segala lini tingkatan sampai yang berada di lembaga keuangan syari’ah itu sendiri yang belum efektif dalam melakukan pengawasan atas prinsip syari’ah yang dilaksanakan lembaga keuangan syari’ah.
Semoga pemikiran penulis bermanfaat dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia dan semoga Muhammadiyah ke depan dapat memelopori rekontruksi pemikiran terhadap pelaksanaan ekonomi Islam di Indonesia, sehingga menghasilkan putusan dan kebijakan yang lebih mensejahterakan umat Islam.
Penulis: Sutrisno Handoko
Tulisan ini ialah Tanggapan atas Tulisan Dr. Anwar Abbas, Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, SM Edisi 02/Tahun ke -95 Januari 2010.