Oleh: Budhiana Kartawijaya | Jurnalis Senior HU Pikiran Rakyat
BANDUNG -- Di era disrupsi ini, para pakar Teknologi Informasi melempar tiga konsep utama tentang perkembangan dunia usaha di era digital. Ketiga hal tersebut adalah digitisasi, digitalisasi, dan transformasi digital.
Menurut IT Glossary Gartner, Digititasi adalah proses perubahan dari bentuk analog ke digital. Digitisasi dalam dunia rekaman, mengubah rekaman kaset menjadi mp3, atau mengubah video VHS menjadi file mp4. Dalam dunia media massa, contohnya: mengubah koran menjadi e-paper, mengubah arsip fisik menjadi JPG, dan mengubah berita koran menjadi berita di web. Media massa berbasis kertas mendigitisasi konten.
Sedangkan digitalisasi merujuk pada perubahan proses bisnis konvensional ke proses digital. Dalam perusahaan, sebuah perusahaan dikatakan sudah melakukan digitalisasi bila proses bisnisnya sudah paperless, dan mengurangi tatap muka. Interaksi dan komunikasi internal perusahaan misalnya, sudah paperless. Juga transaksi dengan pelanggan dan vendor juga sudah melalui transaksi daring
Istilah ketiga adalah transformasi digital. Sebuah perusahaan dikatakan mengalami transformasi digital jika dia menggunakan kemajuan teknologi IT ini tidak sebatas digitisasi dan digitalisasi, tetapi sudah bertransformasi membuat model bisnis baru. Model bisnis baru inilah yang menciptakan sumber-sumber revenue baru dan nilai-nilai baru yang berkembang atau berbeda dari model bisnis awal. Lebih jelasnya bisa dilihat seperti di bawah ini:
Bila kita anggap digitisasi-digitalisasi-transformasi_digital sebagai sebuah proses keharusan bisnis di lautan ketidakpastian disrupsi, maka sudah berada di manakah industri media kita? Media mana yang masih di tahap digitisasi, mana yang sudah memasuki digitalisasi, dan sudah adakah yang masuk pada tahap transformasi digital?
Belum ada penelitian untuk memetakan perjalanan media-media di Indonesia yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Namun, selama saya menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Serikat Perusahaan Pers (SPS) periode 2014-2019, pembicaraan-pembicaraan tentang transformasi digital belum begitu intens. SPS adalah organisasi lebih dari 1.000 perusahaan pers di tanah air. Dalam rapat-rapat rutin pengurus, pemahaman digitisasi, digitalisasi, dan transformasi digital masih campur aduk. Rapat hingga kongres terakhir di Surabaya Februari 2019, perusahaan media masih merengek penghilangan pajak kertas, dengan alasan no tax for knowledge, sesuatu yang selalu ditolak menteri keuangan.
Umumnya media sudah melakukan digitisasi. Tempo, Kompas, Bisnis Indonesia, dan lain-lain sudah mendigitalkan arsip-arsip dan menjualnya kepada publik. Selain itu, mereka sudah memiliki e-paper, yaitu koran elektronik yang isinya sama dengan koran fisik. Pikiran Rakyat sudah mendigitisasi arsip-arsip lama, tetapi sayang semuanya terbakar pada Oktober 2013.
Pada tahap digitalisasi, sudah banyak yang mendigitalisasi proses bisnisnya. Ketika kita berlangganan Kompas.id, atau Tempo, pembayaran sudah bisa dilakukan dengan sistem online melalui e-banking, mobile banking, atau melalui alat bayar (payment gateway) lainnya.
Pikiran Rakyat juga begitu. Berlangganan e-paper bisa via payment gateway. Namun, untuk iklan mini yang langsung ke kantor, Pikiran Rakyat masih memakai transaksi tunai, padahal aplikasi pasang dan bayar iklan mini sudah ada, via tokopr.
Berapa banyak yang sudah melakukan transformasi digital dengan membuat model bisnis baru? Sejauh mana intensitasnya? Dan apakah model bisnis baru ini menjadi ekosistem bisnis media?
Tempo mencoba masuk sebagai toko online dengan nama Tempo Store (store.tempo.co). Namun, produknya masih terbatas pada arsip digital, cendera mata (merchandise ) dan buku. Tanggung rasanya, kenapa tidak jadi marketplace saja sekalian seperti Bukalapak atau Tokopedia? (Lihat tulisan saya sebelumnya di sini). Belum ada model bisnis baru yang bisa menopang Tempo dan menaikkan kepercayaan publik. Saham Tempo per Senin (18/11) siang berada di posisi Rp. 155. Sejak melantai di bursa 19 tahun lalu, saham berkode TMPO belum pernah melebihi Rp 300, harga ketika dia diluncurkan.
Kompas memiliki divisi bisnis banyak. Ada bisnis bidang knowledge seperti Gramedia dan anak-anak penerbitan. Belakangan banyak anak penerbitan yang ditutup karena rugi. Namun Kompas juga punya kegiatan bisnis lain, seperti Travel Fair, Job Fair, dan lain-lain. Bisnis MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition) dipegang PT Diandra. Kompas grup juga memiliki jaringan hotel Santika dan Amaris.Kompas, Tempo, dan Suara Merdeka mencoba membangun tower perkantoran. Namun toh tidak mudah juga memasarkan.
Namun apakah bisnis baru itu menjadi ekosistem bisnis media induk? Apakah ekosistem bisnis baru itu bisa menopang bisnis induk yang melahirkan bisnis-bisnis baru? Apakah bisnis baru ini bisa menyelamatkan sang induk di masa-masa sulit ini? Kalau tidak, artinya model bisnis baru itu belum menjadi ekosistem. Kalau jejaring model bisnisnya ini berbentuk eksosistem, media cetak pun tak perlu dihilangkan. Transformasi digital bukan berarti mematikan print, tapi mungkin mengatur lagi outlet print ke tempat terbatas.
Di zaman digital ini kita mengenal istilah Big Data. Volume, Variety, dan Velocity (3V) data sekarang begitu luar biasa. Maka banyak pihak mengatakan bahwa data adalah new oil alias minyak baru. Sudahkah perusahaan media kita menambang data ini dan mewujudkannya jadi model bisnis baru yang keluar dari bisnis lama yang mengandalkan iklan dan penjualan koran?
Nah, terus terang, rasanya belum ada media yang masuk ke era transformasi digital.
Persoalannnya banyak. Mulai dari visi owner, sumberdaya manusia, hingga permodalan. Sayangnya, ketika media ini sedang jaya-jayanya, mereka tidak menggunakan kelebihan uangnya untuk riset model bisnis baru.
Kebanyakan masih di tahap digitalisasi, bahkan masih ada yang tahap digitisasi. Sementara, brand-brand non media kini sudah menjadi media sendiri dan memiliki model bisnisnya yang unik, yang menggerus rejekinya media mainstream.***