BANDUNG -- Irfan Amalee, pria asal Cibeureum, Kota Bandung ini berhasil membangun organisasi yang bergerak di bidang pendidikan perdamaian yaitu Peace Generation.
Keberhasilannya dalam menyebarkan perdamaian dengan cara yang mudah diterima itu dirasakan hingga ke Malaysia, Thailand dan Filipina, bahkan menyentuh konflik di Matawi.
"Peace Generation sudah diekspor ke Malaysia dan Filipina, modul kita udah diadaptasi dan diterapkan di dua negara itu. Sebetulnya trainingnya udah ada di Thailand juga. Tapi secara resmi menerjemahkan modul, kita udah men-training dan ada komunitasnya di dua negara itu termasuk di Marawi yang kemarin ada ISIS itu kita ajarkan," kata Irfan Amalee.
Irfan tak sendiri, komunitas yang berdiri pada 2007 lalu ini ia bangun dengan seorang warga berkebangsaan Amerika yaitu Eric Lincoln. Saat itu, Eric bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di tempat kerja Irfan, penerbit buku Mizan.
Eric juga pernah menjadi konsultan antinarkoba dan obat-obatan terlarang di Chicago, Amerika. Sedangkan, Irfan sebagai penulis dan sempat menjadi CEO di penerbitan Mizan.
Mereka berdua sepakat untuk menyebarkan perdamaian dengan cara yang unik melalui media interaktif dan kreatif. Pertama mereka membuat sebuah buku atau modul 12 nilai dasar perdamaian.
"Saya membayangkan kalau ada buku yang mudah buat guru ngajarin, intinya jelas, sama manajemen pengajarannya jelas, itu akan sangat membantu dan ketika dibikin, animonya bagus. Jadi dulu enggak kebayang akan jadi gerakan kaya gini. 2006 ketemu Eric kemudian 2007 terbit bukunya. Nulisnya berdua, hasil formulasinya berdua," ujar Irfan yang pernah dua kali masuk jajaran 500 muslim berpengaruh di dunia pada 2010-2011 versi Royal Institute for Islamic Studies Amman Yordania.
Ada 12 nilai dasar perdamaian yang ditanamkan Peace Generation dalam melatih penggerak (guru) agar dapat menyampaikan nilai perdamaian dengan cara yang menyenangkan. Irfan menjelaskan, kedua belas dasar nilai itu dibagi menjadi tiga bagian, pertama menerima diri sendiri dengan dua pelajaran (bangga menjadi diri sendiri dan menghapus prasangka).
"Bagian kedua, cara pandang terhadap orang lain, itu ada lima, pertama menerima perbedaan suku, agama, perbedaan laki-laki perempuan, status sosial dan perbedaan kelompok tapi kita sekarang juga ditambah perbedaan tentang Disabilitas. Jadi kita ngajarin ke anak-anak disabilitas juga perbedaan yang harus dihargai. Bagian ketiga tentang skill of conflict resolution, itu yang pertama skill merayakan keragaman, mengelola konflik, menolak kekerasan, meminta maaf dan memberi maaf," jelasnya.
Di awal-awal pembentukan Peace Generation, Irfan mengaku melibatkan teman-teman kelompok perdamaian yang hadir saat masa reformasi. Sebelumnya, dia memiliki pengalaman sebagai perwakilan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) yang berkeliling nusantara untuk sebarkan perdamaian.
"Tahun 2007 itu kita men-training dulu sekitar 30 orang dari berbagai daerah yang dulu tahun 1998 sudah saya training dan saya panggil lagi ke Bandung, saya bilang punya formula baru terus mereka menyebar. Ternyata mereka ngajarin di tempatnya masing-masing dan terus akhirnya ya kita sebut mereka agen of peace, sampai muncul Peace Gorontalo, Aceh, Banjarmasin, kemudian bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa dan lama-lama jadi gerakan," ujar salahsatu Top 6 ASEAN Sosial Impact Award dari Ashoka yang bekerja sama dengan National University of Singapore (NUS) dan Asia Philantropy Circle (APC) ini.
Irfan mengaku komunitas yang menyebarkan perdamaian banyak, namun khas Peace Generation dari cara kreatifnya mengemas cara mengajarkan perdamaian.
"Kalau yang mengajarkan perdamaian banyak, tapi gimana mengemasnya. Jadi kalau di dunia perdamaian ini, Peace Gen dikenal di kreatif medianya, pendekatan yang uniknya itu, jadi eksklusif kita ada di sana," tutur suami dari Mila Aprilia Zakiah ini.
Selain melalui buku, Peace Generation juga mengajarkan perdamaian melalui board game.
"(Board game) itu kita jual bebas, namun harus ada fasilitatornya. Karena ada pesan di setiap game yang dimainkan," tutur pemenang International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Communication Award 2009 dari British Council ini.
Irfan dan Eric sebagai pendiri komunitas Peace Generation pun melebarkan sayapnya dengan membentuk Agent of Peace di seluruh pelosok Indonesia. Dia mengatakan, saat ini ada sekitar 50 ribu orang yang sudah menjangkau dan menyerap modul (buku) tersebut dengan berbagai versinya dan 10 ribu Agent of Peace yang sudah mereka latih.
"(Secara rutin melakukan training?) Iya. Di sini kita setahun sekali ada yang versi bahasa Indonesia ada bahasa Inggris. Kalau bahasa Inggris biasanya yang ikut dari internasional pernah dari Yordania, Amerika itu training di sini, dari Filipina juga ikut trainingnya di Bandung. Tapi daerah-daerah juga mereka bikin training sendiri," ujar Irfan.
Kini, modul tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya adalah Tagalog, Inggris, Melayu, dan Aceh. Tak hanya dalam versi Islam, modul tersebut juga sudah tersedia dalam versi Kristen dan Budha.
"Utamanya modul muslim, karena kita menerapkan juga di sekolah Kristen kemudian diadaptasi ke Kristen (disesuaikan dengan keyakinannya). Tahun lalu versi Budies-nya, dan versi Hindu sudah lama digarap tapi belum selesai," tuturnya.
Dari organisasi tersebut, Irfan dan Eric ingin memperlihatkan bahwa perdamaian datang dari agama. Oleh sebab itu, dua sosok berlainan agama antara Irfan dan Eric ditonjolkan.
"Kita itu slogannya 'Semakin Beriman Semakin Bertoleran' jadi Eric itu seorang kristen yang sangat taat. Kemudian saya juga dari keluarga muslim yang pesantren, sehingga penerimaannya (di masyarakat) cukup tinggi," papar Irfan.
"Awalnya saya dikira membawa agenda dari Barat. Karena saya bersahabat dengan Eric, banyak yang bilang hati-hati kristenisasi. Begitu juga Eric, di kalangannya diminta hati-hati dengan islamisasi," ujarnya.
Perjuangan untuk menyebarkan misi perdamaiaan baginya masih panjang. Sebab virus kebencian masih ada dan aktif di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
"Kebencian itu diajarkan dan disebarkan dan akan menginfeksi orang-orang yang imunnya lemah. Mereka yang terinfeksi virus kebencian ini akan hilang kemanusiaanya. Dia akan tega melakukan hal-hal mengerikan, contoh seperti di Makassar kemarin," tutupnya.***