JAKARTA -- Jarang diketahui dua sosok pahlawan nasional, KH Ahmad Dahlan dan Raden Ajeng Kartini merupakan dua tokoh yang pernah satu guru. Seolah keduanya tidak ada keterpautan satu dengan lainnya, lewat guru ngajinya. Siapa sangka.
KH Ahmad Dahlan, semasa remaja dikenal sebagai Muhammad Darwis pernah berguru kepada KH Muhammad Saleh Darat, dalam menimba ilmu Fiqih. (Mulkhan, 1990:63). diantara tahun 1880-an. Juga menimba ilmu qiraah, Tafsir, Bahasa Arab serta ilmu Falak (Irfan Safrudin, Ulama-Ulama Perintis,2008:34).
Begitu pun RA Kartini, yang lahir tahun 1879 M., sempat menjadi murid ngajinya KH Saleh Darat. Meskipun keduanya tampaknya sedikit berbeda waktunya.
Siapa KH Saleh Darat?
Sosok Kiai yang satu ini adalah putera dari KH Umar, seorang diantara barisan pejuang melawan pemerintah Belanda bersama Pangeran Diponegoro di paruh pertama abad 19 M. KH Umar ini berasal dari daerah pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di Darat, sebuah desa dekat kota Semarang.
Setelah tipu daya dan dikalahkannya Pangeran Diponegoro, para pengikutnya berpencar. Mereka mengubah strategi perjuangan bukan lagi dengan frontal secara fisik bersenjata. Para pengikut perjuanga Pangeran Diponegoro kebanyakan masuk dan membuka pesantren di pulau Jawa.
Sebagian ada yang ke bagian timur, seperti Kiai Besari. Ada yang ke psisir utara pulau Jawa bagian tengah. Ada yang ke pantai utara Jawa bagian Barat, memasuki pesantren Buntet, Cirebon. Sebagian menyebrang ke Jawa bagian Barat, ke Priangan ke Galuh, Sukapura, dan Limbangan, Bandung bahkan Bogor.
KH Ahmad Dahlan: Ulama Progresif-Kritis
Darwis Putera KH Abu Bakar (Khatib-Amin Masjid Gedhe Kesultanan Jogya), ini merupakan keturunan ke-11 dari salahsatu walisanga di pulau Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Gresik). Darah ulama mengalir kuat dari ayahnya begitupun dari ibunya.
Kecerdasan Darwis, yang berganti nama menjadi KH Ahmad Dahlan sepulang ziarah Haji (1890) tampak sekali. Kritis dan peduli terhadap persoalan keumatan yang saat itu terbelakang, miskin, terkungkung cara berpikir feodal. Sabagai salahsatu dampak dari penjajahan asing (Barat), khususnya Belanda.
Selain berdialog dengan pak de’ nya yang cerdas, Darwis bertekad bukan sekedar berziarah haji. Tetapi menimba ilmu kepada para ulama di Mekah (Arab) saat itu. Beliau beguru kepada Syekh al-Minangkabawi.
Ahmad Dahlan pun mengkaji karya-karya ulama tajdid, seperti buah pikir sayyid Muhammad Abduh dan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani yaitu Tafsir Al-Manar. Selain karya lainnya “al-Urwatul Wusqa” yang terbit di Paris (saat Jamaludin Al-Afghani pindah karena di Mesir, tidak kondusip: banyak penentangan).
Saat itu Tafsir Al-Manar merupakan salahsatu yang “dilarang” beredar oleh kolonial Belanda. Karena dianggap membuka cakrawala berpikir rasional dan kritis saat itu. Untuk mempersempit perluasan edarannya, konon dihembuskan pula sebagai karya ulama yang dipengaruhi pikiran mazhab Mu’tazilah. Memang begitulah tabiat penjajah, akan mencari cara untuk melakukan politik “devide et impera”, memecah belah dan menguasai!
Selain karya ulama tersebut, KH Ahmad Dahlan masih sempat hidup sezaman Muhammad Rasyid Ridha, sehingga memungkinkan ketemu langsung saat itu.
Tentu saja kitab-kitab klasik karya ulama Hujjatul Islam, Syekh Muhammad Ghazali At-Tusi (Bagdad) merupakan karya-karya yang amat disukainya. Juga karya ulama tanah Hindustan. Selain berguru kepada ulama lokal Jawa seperti: Liai Mahfudz At-Tirmasi, Kiai Abdul Hamid Lempuyangan (Jogya), Syekh Jamli Jambek (Minangkabau) dalam ilmu Falak.
Selain pengaruh guru-gurunya, tentu saja KH Ahmad Dahlan memiliki kecerdasan sendiri. Ijtihad pemikirannya yang luar biasa di zamannya. Pemikirannya yang berusaha “merombak” model pendidikan di kalangan umat Islam saat itu menggemparkan.
Bukan sekedar kurikulum atau materi pembelajaran yang diinovasi, tetapi yang menarik dicermati model penafsiran yang “baru” pada saat itu. Model Tafsir yang mendialogkan al-Qur’an dengan realitas sosial pada saat itu masih amat langka, kalau tidak bisa disebut tidak ada.
Kalau meminjam istilah Fazlur Rahman, KH Ahmad Dahlan tampaknya menggunakan penafsiran dengan gaya “double movement”. KH Ahmad Dahlan mengkaji sumber ajaran Islam terutama Al-Qur’an (dan Hadits) dan mendialogkannya dengan persoalan yang sedang dihadapinya. Menarik ke belakang terkait historis (al-Qur’an dan spirit profetika).
Tetapi KH Ahmad Dahlan kemudian tidak menjadikannya jadi “romantisme sejarah”. Hanya spiritnya (zeitgest) yang diambil untuk dijadikan inspirasi memunculkan solusi atas problem kekinian. itulah kecerdasan KH Ahmad Dahlan. Tak heran jika di zamannya, KH Ahmad Dahlan difitnah kiai “kafir”, “kiai sesat”–karena keluar dari arus utama pemahaman saat itu.
Namun, meski awalnya ditentang keras, akhirnya perlahan dan pasti pemikiran dan bukti praktis KH Ahmad Dahlan dalam memajukan umat Islam diterima secara luas. Bahkan kini banyak orang tidak menyadari kalau yang dilakukannya adalah apa yang dulu digagas dan digerakan KH Ahmad Dahlan. Contohnya banyak sekali, namun bisa dibahas secara rinci di bagian judul lain secara spesifik.
Puluhan tahun kemudian, bahkan berabad kemudian buah pikir dan karya KH Ahmad Dahlan yang progressif kita saksikan. Termasuk salahsatunya peran KH Ahmad Dahlan menggerakan kaum remaja puteri dan perempuan supaya tampil cerdas dan didorongnya menimba ilmu. Baik ilmu agama di pesantren atau pun ilmu keduniaan di sekolah-sekolah model Belanda.
Sehingga KH Ahmad Dahlan difitnah akan “menghancurkan” kaum perempuan. KH Ahmad Dahlan mendorong murid-murid perempuannya dalam kemajuan literasi. Bukan saja membinanya dalam organisasi khusus yang kemudian dikenal sebagai “Sopo Tresno” dan menjadi “Aisyiyah” sekarang. Tetapi pula mengkader remaja puteri menjadi kader-kader umat dan bangsa yang hebat.
Bayangkan, di saat kalangan lain masih “mengharamkan” kaum perempuan keluar rumah. Disaat kalangan lain memperkuat supaya perempuan dipingit dan tidak boleh sekolah. Justru Ahmad Dahlan mendorong kaum perempuan supaya keluar rumah, menimba ilmu seluas-luasnya.
Tak heran jika dalam Kongres Perempuan I di Yogyakarta (1929), ada murid-murid Dahlan yang menjadi “Singa podium” dalam acara tersebut. Sekaligus Srikandi yang aktip secara praktis mencerdaskan anak-anak, mendidik kaum perempuan dengan tabligh dan amal sosial praktis.
Kehidupan RA Kartini
Sebelas tahun lebih muda dari KH Ahmad Dahlan, 21 April 1879 RA Kartini lahir dari keluarga Bupati Rembang bertepatan dengan tanggal 28 Rabiul Akhir. Kartini merupakan anak ke-5 dari keluarga RM Sosroningrat, kepala distrik Mayong.
Saat lahir bayi Kartini, montok dan sehat. Rambutnya tebal, matanya bundar. Bayi yang aktip bergerak. Kartini pun diasuh pamongnya oleh Mbok Lawiyah. Karena kegesitannya dalam bergerak, bayi Kartini ini dijuluki “Trinil” atau dipanggil “Nil” oleh ayahnya. Trinil adalah sejenis burung kecil yang gesik geraknya.
Begitu pun kakak sulungnya, Raden Mas Slamet dan Mbak yu nya, RA Soelastri memanggilnya begitu. Tetapi ibunya tidak menyukainya. Dan melarang adik-adik Kartini, supaya tidak memanggil begitu, itu kurang sopan terhadap yang lebih tua.
Masa Remaja tahun 1892, RA Kartini memasuki masa remaja puteri. Meskipun ayahnya cukup progresip untuk memasukan puteri-puterinya ke sekolah, namun ia belum dapat melepaskan seluruh adat kebiasaan bangsawan yang kolot. Kartini anak yang demikian bakatnya, anak lincah dan periang itu, tidak boleh melanjutkan pelajaran. Ia harus tunduk aturan kuno untuk dipingit.
Semasa sekolah Kartini termasuk anak cerdas, bahkan paling maju dan paling cerdas. Bisa bersaing dengan anak-anak Belanda baik perempuan atau pun laki-laki. Kartini merupakan satu-satunya anak pribumi, lainnya adalah anak pejabat kolonial Belanda dan anak Indo-Belanda.
Semasa sekolah, Kartini pun termasuk anak yang paling bagus karya tulis atau karangannya. Meskipun demikian, ada juga gurunya yang diskriminatif tak memberikan nilai baik hanya karena Kartini berkulit coklat. Selain itu Kartini pun sempat dibully-anak Belanda-Indo. Tetapi secara umum, Kartini merasa senang dan bahagia sekolah bersama-sama yang lainnya.
Lulus Sekolah, Kartini harus dipingit di kurung di rumah tanpa hubungan sedikitpun dengan dunia luar, sampai nanti ada pria yang “ditakdirkan” datang untuk mengambilnya mejadi istri dan memboyong ke rumahnya. Tentu saja Kartini yang memiliki bakat berpikir kritis sejak kecil, jiwanya memberontak.
Empat tahun Kartini menjalani masa “kurungan” (Pingitan), dari 1892-1896 M. Kemudian ditambah 2 tahun bersama adiknya, Roekmini dan Kardinah. Sampai mereka bertiga “dibebaskan” lagi pada tahun 1898. Kartini menjalani pingitan sampai menginjak usia 20 tahun.
Belajar dalam Masa Pingitan
Hari-hari Kartini menjemukan, hidup dalam dunia pingitan. Ia mencoba menghibur diri dengan belajar otodidak membaca-baca buku pelajaran. Tetapi kemudian merasa kesulitan tidak akan berhasil kalau belajar tanpa guru. Maka disimpan lagi buku-buku pelajaran itu.
Kesedihan dan pemberontakan dengan tangisan, ternyata tidak mengubah keadaan. Dalam kondisi demikian Kartini yang memiliki otak kritis dan rasa ingin tahunya?
Kartini merasa muak dengan budaya perkawinan adat. Dalam suasana pingitan dengan jiwa kritisnya itu, Kartini seolah menemukan instuisi.
Kenapa mesti ada adat kuno pingitan terhadap anak perawan di kalangan anak ningrat bangsawan seperti dirinya? Instuisi itu seolah menyatakan bahwa Seorang puteri ningrat itu ibarat benda yang halus da tinggi nilanya.
Karena itu perlu “diamankan” diantara empat buah dinding. Sama seperti permata yang sangat berharga dan harus disimpan baik-baik tidak boleh dipamerkan sembarangan di muka umum.
Sementara kenapa anak laki-laki diberi kebebasan bermain dan seterusnya. Karena mereka kelak setelah dewasa dan kawin, harus mencari nafkah dan menghiduoi keluarganya. Maka sejak muda harus dibiasakan, supaya tidak dimanjakan. Sehingga ia boleh kemudian memilih isteri sendiri bahkan bisa lebih dari satu, itu yang disebut poligami yang dibolehkan oleh adat. Hanya setelah Islam datang masuk disini, ia diizinkan mempunyai sampai empat irang isteri.
Kartini sudah berpikir kritis. Kenapa ia ana perempuan tidak boleh memiliki suaminya sendiri, yang ia kenal dan cintai? Ini tidak adil menurut pemikirannya. Perempuan tidak mungkin milih sendiri. Yang memilihkan harus orangtuanya atau walinya. Bagaimana bisa memilih suami sendiri, bisa bertemu dan memilih calon suami, toh anak perempuan tidak boleh keluar rumah.
Dalam masa pingitan itulah, Kartini memanfaatkan waktunya untuk memperluas wawasan, ilmu supaya makin cerdas untuk memecahlan persoalan yang dihadapinya. Kartini mempelajari Sejarah Revolusi Perancis dan terkesan juga dengan slogan “Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan.”
Dalam masa pingitan itu, Kartini mendapat sikap manis lewat surat-surat dari Kakaknya, RM Kartono. Serta mendapat bimbingan penuh kasih sayang dari ayahnya membuatnya tidak putus asa Kemudian tahun 1900–saat keluarganya berkenalan dengan keluarga Abendanon–Kartini membuat ruang komunikasi (bercerita) tentang fase hidup yang dijalaninya selama masa pingitan.
Dalam masa pingitan, 1897-1899, Kartini mendapat “hiburan” karena suka dikunjungi Ny. Ovink, isteri Asisten Residen Jepara. Sampai Asisten Residen itu dipindahkan ke Jombang. Atas desakan Resien Sijthoff dan Ny. Ovink, ayahnya terbuka hati. Maka tanggal 2 Mei 1898 kurungan (pingitan) ketiga putrinya, termasuk Kartini dibebaskan tidak dikunci lagi.
Mereka bergembira dan bisa keluar seperti diajak bermain ke Semarang. Mereka diajak mengikuti perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina yang dirayakan di Semarang secara besar-besaran.
Penulis dan Jurnalis Wanita-Remaja Pertama
Kartini sudah mencoba kemampuan menulisnya sejak dalam mula masa pingitan. Yang hanya diketahui oleh kakaknya, RM Kartono, dan dua adiknya: Roekmini dan Kardinah. Tahun 1895 Kartini menulis karangan mengenai “Upacara Perkawinan pada Suku Koja” Het kuwelijk bij de Kodjas”. Karanganya sempat diperlihatkan pada Ny. Ovink.
Ny. Ovink sendiri merupakan seorang penulis buku-buku untuk gadis dan karangan-karanganya di majalah De Hollandsche Lelie. Dalam penilaianya Ny, Ovink, karangan Kartini “bagus”, dan meganjurkan Kartini terus berlatih, karena ia memiliki bakat menulis. Dorongan menulis makin meluap dan Kartini pun kemudian menulis dan menulis.
Kebetulan suatu hari ayahnya diminta membantu Koninlijk Istituut voor Taal, Land en Volkenkunde (TLV) voor Ned. Indie. Kartini memperlihatkan karyanya saat membersihkan lemari. Dan ayahnya tertarik dan menilai tulisannya bagus. Dikirimnya karangan Kartini itu.
Tahun 1898 karangan Kartini itu dimuat sebagai “Bijdrage” TLV. Majalah TLV itu dibaca kalangan intelektual Belanda. Maka nama Kartini dikenal luas. Saat itu usianya baru 19 tahun. Karangannya sendiri ditulis tahun 1895, saat usianya 16 tahun.
Maka Kartini pun menjadi tersohor sebagai puteri pengarang yang cakap. Kemudian setelah sejumlah tulisannya terus dimuat, ia pun dikenal sebagai wartawati (Indonesia) pertama. Kartini sendiri menulis karangannya dengan nama anonim, atau nama samaran “tiga serangkai” (nama mewakili ia dan dua adiknya yang sama-sama dipingit saat itu).
Kartini sendiri tidak suka namanya dipuja-puja. Selain Kartini pun tidak suka mdipanggil dengan gelar raden, ia lebih senang dipanggil namanya saja.
Kartini dan adik-adiknya dikenal pula di Belanda, karena keterampilanya dalam membatik dan melukis. Karya-karya Kartini dan saudaranya dikenal dalam pameran di Belanda.
Selain keterampilannya tersebut, yang membuat Kartini terkenal adalah pemikiran emansipatorisnya dalam mengkritik kebijakan kolonial Belanda. Salahsatunya Kritik Kartini atas kebijakan politik Candu yang dilakukan pemerintah kolonial. Pemerintah mendapatka keuntungan besar dari kebijaka politik Candu. tetapi rakyat pribumi menjadi korbannya karena ketergantungan atau kecanduan.
Puteri Jepara ini lewat tulisan-tulisannya mengkritik kebijakan politik pemerintah Belanda yang mengakibatkan kesengsaraan para petani peribumi di pesisir utara pulau Jawa. Selain itu Kartini pu mengkritik kebijakan kolonial yang menerapkan politik rasis dalam dunia pendidikan, seperti sistem klas antara rakyat pribumi, Asia timur asing dan anak pembesar Belanda. (Siti Soemandari Soeroto, Kartini Sebuah Biografi, 1979:115-125).
Kartini berjasa dalam pemikira dan sikapnya yang kritis dan berjiwa emansipatoris, bukan pada pemihakan terhadap kaum perempuan saja yang harus diberi kesetaraan dalam hak dalam dunia pendidikan. Serta mengkritik kepincangan (“penyimpangan”) atau kezaliman kaum laki-laki atas yang membuat korban perempuan tanpa nafkah dan semaunya diceraikan, karena pernikahan poligami yang diselewengkan kaum feodal.
Selain itu Kartini pun dikenal sebagai murid atau santri–saat privat atau pengajian keluarga bupati Jepara–oleh KH Muhamamd Saleh Darat. Kartini mengkritik ulama atau kiai di Jawa (Nusantara), yang tidak mau mencerahkan umatnya. Karena mereka tidak berani menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa kaumnya (bahasa Jawa).
Kritikan keras dari gadis muda ini, seakan menyadarkan KH Muhammad Saleh Darat–yang juga guru ngajinya KH Ahmad Dahlan– sehingga berusaha menerjemahkannya. Hasil terjemahan alqur’an yang dilakukan KH Muhammad Saleh Darat sempat dipersembahkan sebagai hadiah pada saat pernikahan Kartini. Meskipun tidak (belum) sampai tamat seluruhnya.
Alquran dan terjemahan ke dalam bahasa Jawa yang dihadihakan KH Muhammad Saleh Darat diawali dari Fatihah hingga baru sampai pada ayat yang berbunyi,” minazzulumati ilannuuur…” (juz 2). QS Al-BAqarah (2):257. Rupanya Al-Quran yang sudah sempat diterjemahkan guru ngajinya terutama di bagian akhirnya itu amat menggugah jiwanya.
Potongan ayat,..” minazzulumati ilanuur..” itu menjadi slogan atau ikon tulisan Kartini. Yang merasa sudah mendapatkan pencerahan, mendapatka cahaya hidayah dari ajaran agamanya. Itulah potongan ayar quran yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi..“Door Duisternis Tot Lich”
Kalimat berbahasa Belanda itu kemudian diterjemahkan oleh Sanusi Pane ke dalam bahasa Melayu (Indonesia) menjadi,”.Habis gelap Terbitlah Terang.”.
Epilog:
Sebaiknya mengingat Kartini jangan dipersempit dengan perjuangan sekedar membela kaum perempuan. Ataupun membela urusan karir atau nasib perempuan saja. Apalagi hanya dipersempit dengan sekedar simbol tusuk konde, gelung, atau kebaya.
Peranan Kartini amat luas tidak sesempit yang dikira kebanyakan orang.Kartini berjiwa emansopatoris dalam makna luas yakni perlawanan terhadap kebijakan kolonial Belanda. Spirit cerdas, spirit mental pecinta literasi. Semangat membaca dan menulis serta mengkritisi kelemahan kolonial Belanda demi kemajuan, kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan.
Salahsatu esensi mengingat jasanya beliau. Mari gerakan hidupkan semangat literasi, membaca dan berkarya tulis selain praktis mendidik anak-anak bangsa. supaya tampil jadi generasi muda yang maju dan berkarakter pembela kemanusiaan secara seluas-luasnya alias rahmatan lil alamin.
Insyaallah generasi emas, bukan impian. Tetapi realistis bisa diwujudkan, dengan spirit menjaga kecerdasan inetelektal, emosial dan spiritual. Serta menjaga persatuan umat dan bangsa demi kemaslahatan umat dan bangsa.
Selamat Hari Kartini. 21 April. Wallahu’alam bishawab.
*Kontributor: SRS, Mahasiswa doktoral Agama & Budaya UIN SGD Bandung*