JAKARTA -- Dalam catatan hitoris, masjid merupakan bangunan pertama yang didirikan oleh nabi dan sahabat ketika hijrah dari Makkah ke Yastrib (Madinah). Beliau tidak mengawali pembangunan masyarakat di Madinah dengan membangun rumah-rumah tempat tinggal atau pemukiman penduduk, tetapi justru masjidlah bangunan yang pertama didirikan.
Ini mengandung pelajaran yang amat berharga bagi umat Islam di masa yang akan datang; bahwa masjid ialah pusat kebudayaan yang akan mencerahkan kehidupan (lahir dan batin) umat Islam.
Hal itu berarti, Islam mengajarkan keberpihakkan kepada kepentingan publik (sosial). Dalam makna lain, masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan (spiritual) harus memancar berdampak pada nilai-nilai kehidupan nyata (sosial).
Karena dalam Islam setiap bentuk peribadatan kepada Allah tidak bisa dilepaskan bukti pengabdian terhadap sang pencipta itu, dengan perbuatan baik terhadap sesama manusia.
Dalam ibadah Shalat, misalnya, sebagai sebentuk hubungan antara seorang hamba dengan tuhannya, shalat seseorang dinilai tidak sempurna jika tidak berdampak baik secara sosial.
Bahkan firman Tuhan dengan tegas menjelaskan bahwa seseorang yang menjalankan shalat tetapi masih menelantarkan anak yatim dan fakir miskin (belum berdampak sosial) dinyatakan sebagai orang yang mendustakan agama. (QS. Al-Ma’uun: 1-4).
Mungkin yang dipahami Waliyullah Sunan Gunung Djati, terhadap konsep holistik (kesatuan yang utuh) antara ibadah ritual dan sosial hingga melahirkan petatah petitih beliau yang terkenal “Ingsun titip tajug lan fakir miskin -- saya titp masjid dan fakir miskin".
Di dalam Zakat, misalnya terkandung konsep holistik karena ibadah ritual (hablum minallah) dengan ibadah kemanusiaan (hablum minannaas) bersatu padu.
Baik itu zakat fitrah yang dikeluarkan setiap bulan Ramadhan maupun zakat maal, semuanya menjadi bukti bahwa di dalam Islam bentuk peribadatan terhadap Allah itu mesti berdampak sosial.
Begitupun ketika kita memperbincangkan ibadah shaum (Puasa). Rukun Islam yang keempat ini tidak sekadar melatih individu untuk merasakan rasa lapar dan hausnya an sich, tetapi ada pesan moral yang lebih jauh.
Yaitu untuk mendidik umat Islam memiliki kepekaan terhadap sesama, dimana setiap hari masih banyak saudara kita dari kalangan fakir miskin yang merasakan haus dan lapar, bukan karena puasa tetapi karena tidak memiliki makaanan dan minum yang dikonsumsi.
Demikianlah ibadah Shaum (Puaa) amat jelas mengajarkan setiap muslim untuk memanifestasikan ibadah ritual hingga berdampak baik secara sosial. Begitupun dengan ibadah-ibadah yang lainnya, haji ataupun qurban semuanya memiliki nilai sosial.
Dengan demikian fungsi dan kedudukan masjid dalam lingkungan masyarakat teramat penting. Karena masjid merupakan pusat kegiatan keagamaan dimana praktik ibadah-ibadah ritual tersebut dilaksanakan di dalamnya. Kehadiran masjid haruslah bisa dirasakan manfaatnya oleh umat atau masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Alangkah ironisnya jika di sebuah lingkungan terdapat masjid tetapi jama’ah sekitar tidak bisa merasakan nilai manfaat kesejahteraannya.
Lebih memprihatinkan lagi jika di sekeliling masjid, masyarakatnya berada di garis kemiskinan. Hal ini menjadi indikator bahwa fungsi masjid belum mencapai tujuan ideal sebagaimana yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.
Bisa dibayangkan jika 1 juta masjid saja di Indonesia mampu dikelola dengan baik, tentunya bisa memberikan kesejahteraan bagi warga masyarakat di sekitar. Insyaallah, kemiskinan di tanah air ini bisa dituntaskan.
Andai saja setiap masjid bisa bernilai produktif ecara ekonomis, misalnya setiap masjid memiliki aset 10 juta saja, maka bila dikumpulkan akan bernilai sekitar 10 triliun. Dengan demikian peranan masjid yang dikelola secara profesional akan menjawab problematika sosial yang melanda kemiskinan di negeri ini.
Karena jika dikelola secara modern dan profesional masjid bisa bernilai ekonomis. Hal ini disebabkan masjid sebagai pusat sosial keagamaan bisa dikelola sehingga bisa memunculkan program–program kegiatan yang bisa diikuti oleh masyarakat dan bernilai ekonomis.
Misalnya, di sebuah masjid dikelola amal usaha (BMT, bantuan pinjaman modal amal usaha, penyewaan tempat dan aula untuk seminar, dsb).
Selain itu program lainnya seperti pelayanan konsultasi, pelatihan kependidikan, penitipan bayi dan anak, pelayanan ibadah (ibadah haji), kursus bahasa, mengaji dan keterampilan lainnya bisa diselenggarakan oleh para pengurus masjid, dan itu bernilai ekonomis untuk kesejahteraan masjid dan lingkungannya.
Sehingga masjid tidak mengandalkan masukan dari kas atau kencleng rutinan saja. Dalam perspektif ekonomi, masjid sebagai tempat "found rissing" (Penggalian dana) bagi kesejahteraan masjid dan masyarakat sekitarnya.
Bila masjid dikelola dengan tepat, maka fenomena kemiskinan pada umat dan bangsa yang selama ini melilit bisa dicarikan solusinya. Karena pemberdayaan masjid untuk menjawab problematika sosial ekonomi masyarakat dan bangsa sangat rasional dan bisa diwujudkan.
Hanya saja tantangan yang ada adalah masih terkendala sosialisasi dan penyadaran terhadap para pemuka agama yang beragam dalam menyataukan visi besar ini.
Jika komitmen bersama untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan bangsa ini bisa diwujudkan dengan landasan kekuatan ekonomi mikro—yaitu dengan menghidupkan fungsi sosial ekonomi masjid—apa yang dicita-citakan, masjid sebagai pemberdaya umat dan bangsa adalah sebuah keniscayaan.
Dengan demikian sosialisasi peran pentingnya masjid dalam mengembangkan kekuatan ekonomi mikro bagi masyarakat Indonesia yang ditopang dengan kondisi sosio-demografis penduduk yang mayoritas muslim ini merupakan sesuatu yang urgen.
Sebenarnya rancangan masjid sebagai kekuatan ekonomi mikro bukanlah impian kosong, tetapi konsep yang bisa direalisasikan. Karena selain daya dukung penduduk yang besar, negeri kita ini didukung pula dengan cadangan sumber daya alam yang melimpah. Sehingga pengembangan sektor sosial ekonomi kerakyatan dengan masjid sebagai basis gerakannya sangat memungkinkan.***(SAB)