JAKARTA – Tahun 1947-1948 adalah masa krusial bagi Indonesia yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaan. Selain harus menghadapi Agresi Militer Belanda yang membuat ibukota Indonesia harus diungsikan ke Yogyakarta, Indonesia sebagai negara juga belum memiliki infrastruktur pertahanan yang memadai.
Keadaan ini menuntut pemerintah melakukan sejumlah inisiatif. Di tengah keadaan genting tersebut, Presiden Soekarno memberi tugas rahasia kepada seorang tokoh Muhammadiyah untuk membeli sebuah pesawat di India. Tokoh itu bernama Samaun Bakri.
Samaun Bakri, Pemuda Anti Kolonialisme
Samaun Bakri adalah putra kelahiran Nagari Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 28 April 1908. Kakeknya dari garis ayah adalah Bagindo Tan Labiah, seorang dubalang Tuanku Imam Bonjol.
Sikap anti kolonialisme Samaun muncul saat dirinya berusia 18 tahun. Kala itu dia bekerja di kantor Residen Belanda. Kerap menyaksikan kesewenang-wenangan Belanda terhadap pribumi, membuat sentimen anti penjajahannya lahir hingga dia banyak terlibat dalam aktivitas dengan pergerakan politik seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Partai Indonesia Raya (PARINDRA).
Seorang Wartawan Kritis
Perjuangan Samaun melalui media massa dimulai dengan menjadi wartawan surat kabar Persamaan pada tahun 1929. Lewat media massa, dia kerap mengkritik kebijakan pemerintah kolonial sehingga membuat kontrolir Pariaman, Spits, marah dan mengusir Samaun dari tanah kelahirannya. Samaun lantas pindah ke Bengkulu bersama istri dan anaknya.
Di Bengkulu, Samaun menjadi redaksi di Koran Sasaran. Di surat kabar itu, dia kerap mengkritik petinggi adat bengkulu seperti Demang, Asisten Demang, Pasirah Dan Depati yang menyusahkan rakyat dengan menjadi kaki tangan pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah akhirnya mengeluarkan persdelict atau surat peringatan kepada Surat Kabar Sasaran.
Persdelict ini nampaknya sukses meredam sentimen Samaun. Dia lantas membesarkan Surat Kabar Persatoean dan Surat Kabar Penaboer dan lebih banyak meliput kegiatan Soekarno selama di Bengkulu pada tahun 1938.
Namun, Samaun akhirnya kembali menulis kritik pada 1940 setelah anaknya dipanggil oleh dokter Belanda, Hoogezand dengan panggilan ‘kambing’ dan ‘melayu busuk’ saat mengantri di sebuah klinik. Samaun yang memukul perut dokter itu dan menulis artikel berjudul ‘dokter busuk mulut’ lantas disidang.
Pada 1941, Samaun sempat dihukum 9 bulan penjara karena dituduh Komunis oleh pengadilan kolonial karena menulis buku berjudul ‘Si Patai’ yang memuat unsur-unsur revolusi.
Menjadi Sahabat Soekarno di Bengkulu
Di Bengkulu, Samaun aktif sebagai anggota Muhammadiyah dan sering bertablig ke berbagai daerah. Samaun menjadi anggota Konsul Muhammadiyah Bengkulu sesuai keputusan Muhammadiyah Pusat setelah Konferensi Daerah ke-IX Muhammadiyah Bengkulu tanggal 25-28 Maret 1937.Dia juga menjabat Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) regional Bengkulu.
Ketika tempat pengasingan Soekarno dipindahkan ke Bengkulu dari Ende, Nusa Tenggara, pada 14 Februari 1938, Samaun ditugaskan oleh Muhammadiyah sebagai pimpinan penjemputan.
Abdullah Siddik dalam Sejarah Bengkulu 1500-1990 (1996) mencatat Soekarno yang datang dengan istri, Inggit Garnasih dan 2 putri angkat bernama Ratna dan Kartika disambut Samaun di Pasar Pegantungan. Samaun lantas membawa Soekarno menuju Hotel Asia sambil mencari tempat tinggal.
Soekarno sempat menyewa sebentar di rumah sewa milik H. Middin, lalu pindah ke daerah Anggut Atas dan menyewa rumah milik Tionghoa, Liem Bwe Seng seharga f.90 perbulan. Selanjutnya, Samaun pun berteman akrab dan kemudian menjadi orang yang sangat dipercaya oleh Soekarno.
Andil dalam Pernikahan Soekarno dengan Fatmawati
Samaun juga berperan besar pada awal hubungan antara Soekarno dengan Fatmawati. Ketika Soekarno berada di Jakarta setelah bebas dari pengasingan di Bengkulu, Samaun diutus Soekarno untuk membawa pesan dan bingkisan untuk Fatmawati di Bengkulu.
Bersama Abdul Karim Oei dan dr. Djamil kemudian juga berperan mengurus pernikahan Fatmawati dengan Soekarno pada 1 Juni 1943, yang diwakilkan teman dekatnya, opseter (pengawas) Sarjono. Setelah pernikahan itu, Samaun kemudian membawa dan mengawal Fatmawati dan rombongannya yang terdiri dari orang tua, serta paman dari ibu Fatmawati, Moh. Kancil, yang juga penjahit pakaian Bung Karno saat di Bengkulu, ke Jakarta.
Aktif di Berbagai Organisasi
Ketika Jepang masuk dan menduduki wilayah Nusantara, Samaun menjadi pembantu tokoh PP Muhammadiyah, KH. Mas Mansoer, yang bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara (Empat Serangkai) memimpin organisasi bentukan Jepang yang bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat).
Ia juga sempat menjadi anggota Jawa Hokokai dan menjadi salah seorang saksi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia bersama beberapa pejuang muda lainnya, seperti Sayuti Melik, B.M. Diah, Adam Malik, dan Sukarni.
Setelah kemerdekaan, ia sempat menjadi pembantu Wali kota Jakarta Suwiryo. Ketika tentara Sekutu datang pasca kekalahan Jepang, Samaun dan keluarga hijrah ke Jawa Barat. Samaun aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai wakil dari Jawa Barat, juga sebagai anggota Badan Pekerja KNIP, dan sempat pula menjadi sekretaris penjabat Gubernur Jawa Barat Mr Datuk Djamin merangkap anggota Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) yang memutuskan pembumihangusan kota Bandung pada 23 Maret 1946.
Setahun kemudian Samaun menulis buku Setahoen Peristiwa Bandoeng untuk mengenang peristiwa yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api itu. Pada tahun 1947, Samaun dipercaya menjabat sebagai Wakil Residen Banten, yang merupakan bagian dari Jawa Barat.
Mendapat Misi Rahasia Membeli Pesawat di India
Saat mengalami Agresi Militer Belanda, pelabuhan di wilayah Republik Indonesia diblokade oleh Belanda. Tidak ada makanan, obat-obatan, pakaian, transportasi atau barang apapun yang bisa masuk, hal itu menyebabkan masyarakat Indonesia sangat menderita.
Masa itu, Indonesia hanya memiliki sejumlah pesawat peninggalan Jepang, Cureng dan Cukui yang hanya memiliki satu mesin untuk dua penumpang untuk kebutuhan latihan dan penerbangan jarak pendek. Keadaan ini mempersulit posisi Indonesia hingga akhirnya seorang pilot berkebangsaan Amerika, Bobby Earl Freeberg yang berempati pada perjuangan nasional membeli pesawat Douglas C-47 pada 6 Juni 1947.
Memiliki nomor registrasi RI002, pesawat Douglas C-47 itu menjadi pesawat pertama Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Bobby bersama R1002 melakukan banyak misi bagi AURI. Misalnya “Operasi Kalimantan”. RI002 juga melakukan penerobosan blokade, menyelundupkan hasil produksi ke luar Indonesia dan menerjunkan senjata di wilayah Indonesia. Tak hanya itu, RI002 juga telah menerbangkan pejabat Indonesia ke berbagai tempat.
Keadaan Indonesia yang kekurangan pesawat ini menginisiasi Presiden Soekarno untuk membeli pesawat baru. Soekarno lantas menugaskan Bobby bersama Samaun yang saat itu menjabat sebagai wakil Residen (Bupati) Banten untuk membeli pesawat udara dari Negara India. Sebelum berangkat ke India, tugas pertama adalah mengambil 20 kg emas dari pertambangan Cikotok, Banten sebagai alat pembayaran.
Gugur dalam Tugas Negara
Pada 10 Oktober 1948, rombongan Samaun yang terdiri dari kapten dan pilot Bobby Freeberg, Ko-pilot Bambang Saptoadji, ahli teknik Sumadi, operator radio Suryatman, ko-pilot kedua Santoso terbang ke Bukittinggi. Pesawat itu mengangkut 20 kg emas dari Cikoto bersama muatan lain.
Dari lapangan udara Gorda, Serang, RI002 terbang menuju Tanjung Karang, Lampung. Setelah tiba di Tanjung Karang, RI002 menuju Bukittinggi sebelum ke India. Namun nahas, pesawat ini rusak dan jatuh di tengah hutan di wilayah Lampung Tengah pada 1 Oktober 1948.
Bagai hilang ditelan bumi, tidak ada yang mengetahui kabar nasib rombongan ini hingga muncul berbagai spekulasi. Sampai Presiden Soekarno wafat pada 1970 pun, tidak ada informasi sedikitpun terhadap misi ini hingga 30 tahun kemudian, tepatnya pada 7 atau 14 April 1978.
Pada tanggal itu, dua orang pencari rotan di bukit Punggur, Lampung, melaporkan penemuannya kepada Pemerintah Lampung Tengah. Dia menemukan bangkai pesawat RI002 beserta semua kerangka jenazah penumpang dan awak pesawat, kecuali kerangka Bobby Earl Freeberg.
Tiga bulan kemudian, Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Udara Ashadi Thahjadi mengumumkan bahwa kru dan penumpang RI002 telah gugur dalam melakukan tugasnya untuk Republik Indonesia saat berusaha menembus blokade Belanda.
Kru Indonesia RI002 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang pada 29 Juli 1978, sedangkan letak makam Bobby Freeberg tidak diketahui. Pada tahun 2002 ia dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra Utama oleh pemerintah Indonesia.
Untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangannya, anaknya Fuad S. Bakri bersama Teguh Wiyono menulis buku dengan judul Samaun Bakri, Sang Jurnalis dan Misteri Jatuhnya RI 002. Buku yang diterbitkan oleh Rajawali Konsultan itu diluncurkan pada 20 September 2014 di Museum Teks Proklamasi, Jakarta.
Penulis: Afandi
Editor: Fauzan AS