Oleh SUKRON ABDILAH, Pimpinan Redaksi
JAKARTA - Banyak banget ekonom yang menyebut Indonesia ialah salah satu Negara yang digadang-gadang akan menikmati bonus demografi dari pertumbuhan generasinya. Tentunya, kabar ini menggembirakan kita karena bonus demografi akan menguatkan posisi bangsa di dunia dalam bidang ekonomi.
Tak berlebihan jika pemerintah terus menggencarkan etos inovasi dan kreativitas generasi muda pembangun bangsa sehingga menjadi warga negara yang produktif, berdayasaing, dan mampu berjoget di era global untuk membangun Negara Indonesia.
Namun, disamping kabar gembira tersebut, nyempil kabar tak sedap, karena pada satu sisi jumlah generasi muda yang disebut kaum milenial ini, terdapat wabah ancaman bagi perekonomian di masa mendatang.
Bonus Demografi
Kalau generasi milenial mampu bersenyawa dengan perkembangan teknologi, yang mahir menggunakan perangkat teknologi, dan mampu berdaya untuk kreatif di masa depan, tentunya pertumbuhan mereka akan menjadi bonus demografi.
Tetapi sebaliknya, apabila generasi milenial tidak mampu bersenyawa dengan zaman dan perangkat teknologi, serta hanya menjadi konsumen dan pengguna produk teknologi; tentunya hadir mereka di Indonesia akan menjadi bonus demografi.
Ekpresi dan aktivitas kaum muda lebih intens di Facebook, Twitter, Instagram dan medsos lain. Saking adiktifnya mereka terhadap produk teknologi, ada adagium yang berkembang di kalangan muda, “HIDUPKU TAK BISA BERJAUHAN DENGAN GADGET.”
Prof. Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen perubahan dalam bukunya, Strawberry Generation (2017) mengatakan bahwa mereka secara tampilan sangat sedap dipandang, tetapi rapuh di dalam mentalnya, sehingga ada kemungkinan bila dibiarkan, maka pada masa depan mereka akan menjadi loser saat bersaing dengan bangsa lain.
Kaum milenial & Digital Culture
Bila pola digital culture generasi milenial hanya menjadi konsumen, di masa depan mereka hanya akan menjadi seorang warga negara yang tidak bisa ngapa-ngapain, bermental pecundang sebelum bertarung, cerewet di medsos dan menjadi wabah ancaman demografi bagi Indonesia.
Jikalau kita membiarkan mereka kehilangan daya kreativitas, inovasi, dan literacy culture dalam merespon perkembangan zaman dan teknologi, insyaallah mereka di masa depan hanya menjadi konsumen saja.
Ada tiga hal yang perlu kita perhatikan mencermati kaum milenial ini.
Pertama, konsumsi informasi menjadi pokok. Persoalan ini kerap menjebak generasi muda tidak kritis terhadap isi pemberitaan dari media meskipun mereka bisa menjadi seorang pembuat informasi.
Kedua, persoalan ekspresi generasi milenial. Jika kita tidak visioner hanya latah terhadap perkembangan teknologi, tentunya akan terjebak kepada gaya “tuturut munding”, bukan menciptakan secara inovatif dan kreatif, sehingga yang dikejar ialah dunia citra; seperti kebanyakan selfie yang tak produktif.
Ketiga, persoalan milenial baper dan caper. Dua kategori ini tak bisa kita tolak pada era medsos sebagai teman karib mereka. Milenial baper, biasanya mereka hanya curhat di dalam media sosial, sedangkan milenial caper, cenderung membuat sesuatu yang kreatif untuk mencuri perhatian si followernya.
Karena itu, sebagai salah satu kaum milenial yang lahir tahun 82-an, saya imbau wahai kaum milenial, manfaatkan perkembangan teknologi untuk kepentingan memperkaya pengetahuan, daya produktivitas, dan kreativitas dalam diri, sehingga menjadi bekal untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.***(SAB)