JAKARTA -- Apakah yang tidak dimiliki Muhammadiyah? Itulah pertanyaan budayawan Mohamad Sobary tahun 1990 silam, yang kemudian ia jawab sendiri dengan mengatakan, “persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 itu sudah memiliki hampir segalanya: Kewibawaan, kebesaran, popularitas dan prestasi. Selebihnya, ini yang terpenting, amal saleh yang tak mungkin tak terekam dalam disket Allah.” (Muhammadiyah dalam Sorotan, 1990: 236).
Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan saat ini, pada saat Muhammadiyah memasuki usia satu abad. Dan jawaban yang sama juga bisa kita kemukakan saat ini karena selama satu-dua dekade terakhir Muhammadiyah terus bergerak searah dengan perkembangan zaman.
Artinya, salah satu keistimewaan yang dimiliki Muhammadiyah adalah konsistensi dalam menjaga kewibawaan, kebesaran, popularitas, prestasi, dan amal saleh. Sejauh yang saya amati belum ada organisasi massa Islam besar yang bisa berjalan konsisten seperti Muhammadiyah di tengah godaan politik dan kekuasaan yang dahsyat, terutama pascagerakan reformasi.
Sejak didirikannya hingga saat ini, Muhammadiyah tetap konsisten melakukan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk pada kekuasaan. Seruan-seruan moral yang diajukan tokoh-tokoh agama yang belakangan ini bergema, sumber utamanya dari Jalan Raya Menteng Raya No. 62, markas Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada saat masyarakat menjerit soal tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dari markas yang sama didengungkan perlunya mengembalikan energi untuk kepentingan rakyat. Maka Muhammadiyah memelopori judicial review (peninjauan ulang) atau bahkan penghapusan Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Gunanya agar semua cadangan energi nasional tidak dikuasai asing (negara lain) dan dikembalikan fungsinya sesuai UUD 1945.
Itulah peran di bidang politik dan penyelamatan energi, di bidang-bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan yang menjadi aksentuasi program gerakan Muhammadiyah tentu masih tetap berada di garda terdepan walau belakangan ini --pada era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2—peran di kedua sektor ini seolah diabaikan pemerintah dengan cara mengeliminasi peran-peran konstruktifnya baik di Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Kesehatan.
Selain di kedua sektor tadi, pemerintah juga kerap bertindak tidak proporsional terhadap peran-peran Muhammadiyah lantaran kritik-kritik tajam yang sering dilontarkannya. Tapi, percayalah, hal itu tidak akan mengurangi peranan Muhammadiyah dalam ikut serta memajukan bangsa ini. Usia Muhammadiyah jauh lebih tua dari Republik, dan peranan Muhammadiyah tidak akan mengecil hanya lantaran diabaikan oleh satu periode kepemimpinan pemerintah yang menguasai Republik ini.
Kalau pun kita nilai ada yang kurang dari Muhammadiyah, maka itu adalah peran sertanya dalam menjawab kegelisahan anak-anak muda saat ini yang semakin lantang menyuarakan perubahan. Semangat korektif yang banyak disuarakan Muhammadiyah belum menyentuh aspek penyiapan generasi muda dalam mengisi kekosongan kepemimpinan politik yang berkarakter baik di lembaga legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Padahal ketiga aspek inilah yang menjadi jantung penggerak setiap perubahan dan pembaruan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Peranan Muhammadiyah, menurut saya, tidak cukup hanya dengan amar ma’ruf nahi munkar, dalam arti kuratif dengan cara mengoreksi atau meluruskan jalannya pemerintahan yang dinilai melenceng dari amanat dan harapan rakyat. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana agar Muhammadiyah juga ikut menyiapkan kader-kader muda yang berkarakter, yang memiliki cita-cita luhur agar bisa berpartisipasi aktif dalam menjalankan roda kepemimpinan nasional.
Muhammadiyah memang bukan partai politik yang secara kelembagaan punya tugas pokok menyiapkan kader-kader bangsa untuk mengisi kepemimpinan nasional, namun demikian, tidak ada salahnya jika Muhammadiyah ikut terlibat aktif dalam sektor yang amat strategis ini. Muhammadiyah bisa mendidik dan menyiapkan kader-kadernya yang baik, dan menitipkan mereka pada partai politik yang dari segi visi, misi, dan platformnya tidak melenceng terlalu jauh dari visi, misi, dan khitah Muhammadiyah.
Kita menyadari, salah satu problem besar yang kita hadapi saat ini adalah regenerasi kepemimpinan politik nasional yang tampaknya masih belum bisa berjalan secara proporsional. Hal ini tercermin, misalnya, dari berbagai survei yang sudah dirilis secara terbuka, dri sederetan nama calon pemimpin nasional (terutama Presiden dan Wakil Presiden) yang bermunculan, hampir seratus persen diisi kaum tua yang sejak lima atau sepuluh tahun lalu sebagian sudah diajukan sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Kita tidak sedang mendikotomikan tua-muda, tetapi alangkah baiknya jika dalam proses regenerasi kepemimpinan nasional kita mengikuti hukum alam yang terus berputar sepanjang zaman.
Bisa jadi, dominasi kaum tua itu disebabkan kesalahan generasi muda sendiri, yakni karena: pertama, beberapa tokoh politisi muda yang sudah muncul di permukaan pada umumnya tidak imun atau bahkan terlibat secara langsung dengan skandal-skandal politik yang memalukan.
Kedua, karena generasi muda tidak cukup siap bersaing dengan generasi tua dalam memperebutkan kepemimpinan di tingkat partai politik; dan ketiga, secara generik anak-anak muda memang dianggap belum cukup siap menjadi pemimpin.
Ketiga penyebab ini bisa benar bisa juga tidak. Yang pasti, ketiadaan tokoh muda yang tampil menjadi calon pemimpin nasional (diakui atau tidak) memunculkan kegelisahan yang cukup dalam di kalangan anak-anak muda. Kegelisahan yang apabila dibarkan berkembang akan memberi dampak yang destruktif, baik bagi individu anak-anak mudanya sendiri maupun bagi lingkungan sosial dan bangsanya.
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang mumpuni bisa berperan aktif dalam menanggulangi kekurangan generasi muda itu dengan cara: (1) menyiapkan generasi muda yang berkarakter, yang imun terhadap godaan-godaan scandalous yang belakangan ini banyak menimpa para politisi termasuk kalangan muda; (2) memasok kader-kader terbaiknya dalam berbagai partai politik yang sesuai dengan harapan masyarakat; dan (3) membekali generasi muda dengan modal kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dengan ketiga program ini, jika dijalankan secara sistemik dan berkelanjutan, besar harapan kita, regenerasi kepemimpinan nasional akan bisa berjalan secara baik, proporsional, dan objektif. Dan pada gilirannya, upaya-upaya apa pun yang berusaha untuk menghambat proses ini akan gagal di tengah jalan. Karena di tengah-tengah masyarakat sudah dipenuhi kader-kader yang berkarakter, yang siap mengisi dan memperbaiki setiap ruang kepemimpinan politik nasional, terutama yang rentan korupsi dan rentan manipulasi.
Sumber: Okezone.com, Kamis, 28 Juni 2012.