JAKARTA -- Pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup, ketika umat menjumpai suatu persoalan dapat langsung bertanya kepada beliau untuk memperoleh jawabannya. Nabi saw terkadang menunggu wahyu al-Quran yang turun berkenaan dengan persoalan tersebut dan terkadang menjawab dengan sunnah, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau. Adapun jawaban Nabi Saw itu, pada hakikatnya tidak terlepas pada petunjuk Allah sesuai dengan QS. An-Najm ayat 3-4.
Namun, setelah Nabi Muhammad saw. wafat wahyu tidak turun lagi, sehingga jika terjadi persoalan hukum para sahabat akan mencari ketetapan hukum di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Apabila tidak terdapat dalam keduanya, maka mereka berijtihad sendiri dengan bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah. Ijtihad yang dilakukan para sahabat ini sesuai firman Allah Sw QS. An-Nisa ayat 59 dan al-An’am ayat 153.
Dengan demikian, menurut Majelis Tarjih, belum didapati nash baik al-Quran ataupun al-Hadis yang memerintahkan kepada umat Islam untuk bermazhab, yang ada adalah perintah untuk mengikuti apa yang ada dalam al-Quran dan as-Sunnah. Namun demikian, tidak boleh diingkari bahwa para imam mazhab adalah ulama yang sangat mumpuni dalam ilmu agama dan sangat besar jasanya dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, sehingga pendapat-pendapat mereka tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam menentukan hukum persoalan keagamaan.
Salah satu butir pokok manhaj Tarjih Muhammadiyah adalah tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Lantas, bagaimana dengan mencampuradukkan pandangan para imam mazhab atau talfiq? Pada Putusan Munas Tarjih ke-25 tahun 2000 di Jakarta tentang Manhaj Tarjih Muhammadiyah, disebutkan bahwa talfiq adalah menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar‘i. Talfiq terjadi dalam konteks taqlid (mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya) dan ittiba‘ (mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya).
Muhammadiyah membenarkan talfiq sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih. Tarjih, secara teknis adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih tepat analogi dan lebih kuat mashlahatnya. Adapun secara institusional Tarjih adalah lembaga ijtihad jama‘i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang beranggota orang-orang yang memiliki kompetensi ushuliyyah dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing.
Bagi warga Muhammadiyah, dalam menjalankan hukum agama Islam minimal adalah memilih sikap ittiba’, yakni mengikuti keputusan persyarikatan dalam bidang agama, misalnya persoalan yang dimuat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), dengan mengetahui dalil maupun cara istinbat (pengambilan) hukumnya. Adapun talfiq, boleh digunakan setelah melalui proses tarjih yang dilakukan oleh Majelis Tarjih.
dalam persoalan ibadah, khususnya tata cara shalat, Muhammadiyah memedomani beberapa kaidah tentang hadis sebagaimana yang tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih: Kitab Beberapa Masalah nomor 21 Usul Fiqih (lihat HPT, hal 302-303), bukan berdasarkan pendapat mazhab tertentu. Dalam hal bacaan basmalah, menurut Muhammadiyah basmalah pada surah al-Fatihah dalam shalat boleh dibaca sirr dan boleh pula di baca jahr (Keputusan Munas Tarjih ke-27 di Malang tahun 2010).
Sementara masalah qunut subuh, Muhammadiyah berpandangan bahwa dalil-dalil tentang qunut subuh tidak memenuhi kriteria sebagai hadis yang dapat diterima sebagai hujjah, sebagaimana tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih: Kitab Putusan Tarjih Wiradesa butir V Qunut (lihat HPT, hal 377-379).
Wallahu a’lam bish-shawab.