Iklan

Iklan

,

Iklan

Ini Penjelasan Muhammadiyah tentang Peperangan dalam Al-Quran

Redaksi
Jumat, 28 Juni 2024, 11:10 WIB Last Updated 2024-06-28T04:10:04Z


JAKARTA --
Perlu diketahui bahwa ayat tentang perang tidaklah berdiri sendiri, melainkan masih erat hubungannya dengan ayat lainnya, terutama ayat tentang perang. Maka untuk memahaminya perlu dikutipkan ayat-ayat lain yang mempunyai tema yang sama, yaitu qital (peperangan), sekalipun tidak semuanya. Baiklah kami kutipkan ayat-ayat dimaksud:


“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah suatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. Al Baqarah: 216.


“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: Berperang pada bulan haram itu adalah dosa besar; tetapi (menghalangi) manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) masjid  al haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Al Baqarah: 217.


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Al-Baqarah: 218.


“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. Al Hajj: 39.


Pada ayat 216 Surat Al Baqarah, ditegaskan bahwa Allah telah mewajibkan kaum muslimin memerangi orang-orang kafir, padahal perang adalah pekerjaan yang sangat berat, sebab perang itu akan menghabiskan harta, dan menghilangkan jiwa begitu banyak. Tetapi kadang-kadang sesuatu yang dibenci di dalamnya terdapat kebaikan dan manfaat yang besar, dan sesuatu yang disenangi di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat atau membahayakan. Maka janganlah merasa tidak senang terhadap kewajiban berperang melawan musuh., sebab di dalamnya terdapat kebaikan, cepat atau lambat. Sudah menjadi sunnah Allah atau tabiat, bahwa solusi suatu masalah harus melalui jalan yang berat, sebagaimana penyembuhan penyakit, harus minum obat yang pahit.


Ayat ini adalah ayat yang pertama diturunkan mewajibkan berperang, diturunkan pada tahun 2 H. Pada priode sebelumnya, yaitu pada priode Makkah, Allah belum mengizinkan berperang, sebab pada priode tersebut kekuatan kaum muslimin belum memadai. Setelah Nabi saw berhijrah, barulah diizinkan memerangi kaum musyrikin yang memerangi Nabi saw, dengan diturunkan ayat 39 surat Al Hajj:


“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya…”


Setelah itu barulah Allah mewajibkan berperang. (Al Maraghi, 1969, I: 132).


Telah menjadi sunnah Allah juga, bahwa hal-hal yang enak, yang menyenangkan, di belakangnya terdapat hal-hal yang membahayakan. Misalnya meninggalkan jihad di jalan Allah, atau berperang melawan musuh, pada permulaannya tidak menimbulkan korban, baik jiwa maupun harta, dan tampak sangan aman dan tentram, tetapi sebenarnya di belakang ketenangan tersebut terdapat bahaya yang mengancam, seperti penguasaan orang-orang terhadap negara-negara kaum muslimin dan harta mereka, seperti kita saksikan sekarang, betapa sombong negara-negara yang dikuasai orang-orang kafir terhadap negara-negara muslim, mereka dengan seenaknya menuduh orang-orang muslim sebagai teroris.


Hanya Allah-lah yang mengetahui hikmah segala macam peristiwa yang terjadi, dan kita harus yakin bahwa Allah tidak memerintahkan sesuatu, melainkan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Kita harus meyakini bahwa Allah akan membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan, sekalipun jumlah pembela kebenaran hanya sedikit, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:


“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. Al Baqarah: 249.


Tentu saja dalam masalah jihad, harus mempersiapkan segala kemampuan, baik fisik maupun non fisik.


Setelah menjelaskan bahwa perang adalah wajib bagi kaum muslimin apabila diserang musuh, maka pada ayat berikutnya Allah menjelaskan pertanyaan para sahabat tentang perang pada bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.


Sebab turun (sababun nuzul) ayat ini, menurut riwayat dari Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw pada bulan Jumadal Akhirah, dua bulan sebelum perang Badar, mengutus ‘Abdullah Ibn Jahsy membawa satu pasukan untuk menghadang kafilah orang Quraisy yang terdiri dari ‘Amr Ibn ‘Abdillah dan tiga orang lainnya. Pasukan tersebut berhasil membunuh ‘Amr dan menahan dua orang dan menggiring kafilah tersebut beserta dagangannya. Peristiwa itu terjadi pada awal bulan Rajab, tetapi mereka menyangka bulan Jumadal Akhirah. Maka berkatalah orang-orang Quraisy: Muhammad telah menghalalkan bulan haram., yang seharusnya pada bulan itu orang-orang merasa aman untuk mencari kehidupan. Kemudian Rasulullah saw menghentikan kafilah tersebut, tetapi mereka berkata: Kami akan berhenti hingga sampai ke tempat kembali kami. Kemudian turunlah ayat:


“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram…”


Apakah dihalalkan perang berperang di bulan haram? Rasulullah saw menjawab setelah menerima wahyu dari Allah swt: Perang itu sendiri masalah besar, tetapi menghalang-halangi kamu dari jalan Allah, dan dari al Masjid al Haram, dan mengingkari Allah serta mengusir kamu dari al Makkah al Mukarramah, padahal kamu adalah penghuninya, semua itu lebih besar kejahatan dan dosanya menurut Allah dari membunuh seorang musyrik yang selalu memfitnah kamu sekalian. Fitnah yang dilakukan oleh kaum musyrikin adalah lebih besar dosanya menurut Allah dari pada pembunuhan. Tidak apalah kamu menyerang kaum musyrikin pada bulan haram, sebab mereka telah melakukan kejahatan yang lebih keji, mereka telah memfitnah agamamu, dan fitnah adalah lebih kejam dari pada pembunuhan.


Al maraghi dalam tafsirnya menjelaskan, dimaksudkan dengan fitnah yang dilakukan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin ialah memasukkan keragu-raguan dalam kalbu kaum muslimin, atau melakukan penganiayaan, sebagaimana mereka lakukan terhadap ‘Ammar Ibn yasir, Bilal Ibn Rabah, Khabbab Ibn al Arats dan lain-lainnya. Mereka menganiaya ‘Ammar dengan api agar kembali kepada kekafiran, dan menganiaya saudara dan ibunya. Ketika mereka melakukannya dengan penganiayaan yang sangat keji itu, Rasulullah saw bersabda: Sabarlah keluarga Yasir! Sabarlah! Tempatmu adalah surga. Yasir wafat dalam penganiayaan tersebut, sedang ibunya wafat karena ditikam pada anggota kesuciannya. 


Adalah Bilal disiksa oleh Umayyah Ibn Khalaf dengan tidak diberi makan dan minum satu hari satu malam, kemudian punggungnya dilemparkan di atas pasir yang telah dipanaskan, lalu ditekan dengan batu besar. Ketika itu berkatalah Umayyah Ibn Khalaf: Kamu akan diperlakukan terus seperti ini hingga mati atau ingkar kepada Muhammad, dan menyembah Lata dan ‘Uzza. Tetapi ia tetap tabah, tidak menyerah dalam meyakini dan menjaga agamanya.


Kaum musyrikin tidak hanya menganiaya para sahabatnya, melainkan juga menganiaya Rasulullah saw, dengan meletakkan isi perut unta di atas punggungnya ketika beliau melakukan shalat, kemudian disingkirkan oleh Fatimah, dan tidak hanya sampai di situ, sering sekali beliau diperlakukan dengan berbagai macam penganiayaan, yang kemudian diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana diungkapkan dalam firmanNya:


“Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari pada kejahatan orang-orang yang memperolok-olokkan kamu”. Al Hijr: 95.


Setelah kaum muslimin berhijrah ke Madinah dan jumlah mereka bertambah besar, barulah mereka memerangi kaum musyrikin untuk memusnahkan fitnah dan profokasi mereka (Al Maraghi, 1969, I: 135).


Selanjutnya Allah mengungkapkan bahwa tujuan perang bagi kaum musyrikin adalah agar Islam tidak tersebar di muka bumi ini, sebab permusuhan mereka terhadap Islam sangat mendalam. Maka menunggu iman mereka hanya dengan dakwah, merupakan harapan kosong belaka. Karena itulah Allah mengizinkan perang melawan kaum musyrikin di bulan haram. Mereka memang sangat mengharapkan agar kaum muslimin kembali kepada kekafiran, tetapi apabila iman sudah menjadi darah daging, tidaklah mungkin dapat memurtadkan mereka.


Murtad adalah perbuatan yang sangat besar dosanya, maka Allah mengancam siapa saja yang murtad dan mati dalam kekafiran, semua amal kebaikannya terhapus, seakan-akan tidak pernah berbuat kebaikan, dan merugi baik di dunia maupun di akhirat.


Kemudian pada ayat berikutnya, yaitu ayat 218, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah itulah yang benar-benar mengharapkan rahmat Allah. Para ulama berbeda pendapat mengenai hijrah dari negara kafir ke negara Islam pada masa sekarang. Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban berhijrah itu tergantung kepada ‘illat (alasannya), apabila benar-benar tidak dapat melaksanakan kewajiban agama, karena terancam jiwanya, maka berhijrah adalah wajib. (Rasyid Ridha, tt, II: 320).


Dimaksudkan dengan jihad pada ayat tersebut, ialah mencurahkan segala kemampuannya untuk membela agama Allah, dan jihad tidak selalu berarti perang. Sebab perang baru diizinkan apabila telah didhalimi dan difinah., sebagaimana telah ditegaskan dalam surat al Hajj : 39.


Al Quran telah menggariskan beberapa peraturan dan etika perang; kapan dan di mana perang itu dibolehkan, apa yang harus dilakukan terhadap tahanan, bagaimana pemanfaatan harta rampasan, dan kapan perang itu harus diakhiri, serta kapan harus diadakan perdamaian.


Pertama, perang diizinkan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, seperti ditegaskan dalam surat al Baqarah : 90. Kedua, untuk membalas karena telah didhalimi, seperti ditegaskan dalam surat al Hajj : 39. Ketiga, untuk menegakkan kebenaran, seperti disebutkan dalam surat al Bara’ah : 12. Keempat, untuk menghilangkan penganiayaan, seperti disebutkan dalam surat al Baqarah : 193. Kelima, untuk mempertahankan ketenangan agama, sebagaimana disebutkan dalam surat al Baqarah : 191.


Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perang dalam Islam prinsipnya adalah untuk pembelaan diri (defensive). Islam melarang umatnya menyerang musuh lebih dahulu, tetapi apabila diserang musuh, Islam dilarang mundur setapakpun, sebagaimana ditegaskan dalam surat al Anfal: 15-16. Pada ayat tersebut Allah menegaskan, barang siapa mundur dalam peperangan, maka ia akan membawa kemurkaan Allah swt. 


Jika kaum muslimin diberi kemenangan pun tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap musuh yang kalah, sebagaimana diatur dalam surat al Mumtahanah : 7-8. Terhadap tawanan perang Islam memberikan dua alternatif; membebaskan tanpa tebusan, dan membebaskan dengan tebusan, sebagaimana diatur dalam surat Muhammad : 4.


Perang dalam arti saling membunuh antara manusia memang telah terjadi sejak permulaan sejarah kehidupan manusia, sebelum diturunkan kitab Taurat, Zabur, Injil dan al Quran. Karena pada waktu itu jumlah manusia belum begitu banyak.***


Sumber: tarjih.or.id

Iklan