Iklan

Iklan

,

Iklan

Mengenal Wajah Sejati Muhammadiyah

Redaksi
Selasa, 25 Juni 2024, 13:10 WIB Last Updated 2024-06-25T06:10:47Z


Oleh: Drs KH Rafani Akhyar M.Si,
Sekretaris MUI Jawa Barat


BANDUNG — Almarhum Kang Farid Ma’ruf Noor sering melontarkan pernyataan seperti ini: “Sekarang ini banyak pimpinan dan anggota Muhammadiyah tidak bisa lagi memahami Muhammadiyah secara utuh sehingga di dalam aktivitas kemuhammadiyahannya tidak dapat menampilkan Muhammadiyah dalam wajahnya yang benar”.


Apa yangi dirasakan oleh Kang Farid (Allahu yarham) di era tahun 1990-an sebetulnya bukan fenomena yang baru. Ketika KH Ahmad Dahlan akan meninggal pada 1923 dikabarkan beliau sering bersedih dan bahkan hendak menangis. Waktu ditanya apa sebab kiai merasa bersedih, jawabnya, “Saya melihat gejala Muhammadiyah ini berjalan tidak sesuai dengan relnya maka saya khawatir.”


Ketika Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah (1942-1953) dirasakan adanya kekaburan di dalam Muhammadiyah sebagai akibat dari proses dan dinamika internal setelah 30 tahun berdiri.


Ditandai oleh dua hal. Pertama, terdesaknya jiwa/ruh Muhammadiyah oleh perkembangan lahiriah. Kedua, masuknya pengaruh (paham agama, politik, ekonomi, dan lain-lain) dari luar yang tidak sesuai dengan pandangan Muhammadiyah.


Hal yang menarik dari benang sejarah para tokoh Muhammadiyah periode assabiqunal awwalun (yang pertama kali mendirikan dan menjadi pengurus) itu cermat mengantisipasi gejala-gejala yang akan merugikan Muhammadiyah dengan menyusun berbagai pedoman untuk menangkalnya.


Sebagai contoh, sepeninggal KH Ahmad Dahlan, para penggantinya dengan cepat merumuskan pikiran-pikiran KH Ahmad Ahmad sehingga menjadi dokumen baku yang berfungsi sebagai kaidah penuntun dalam bermuhammadiyah. Mari kita lihat satu per satu.


Periode KH Ibrahim (1923-1932)


KH Ibrahim sebagai pengganti KH Ahmad Dahlan (1923-1932) dibentuk Majelis Tarjih yang menghimpun para ulama dan bertugas mengadakan penelitian dan pengembangan hukum Islam. Dari produk-produk Majelis Tarjihlah kita bisa mengenal manhaj pemikiran keagamaan Muhammadiyah. Salah satu faktor penting kenapa Muhammadiyah bisa diterima masyarakat dengan mudah karena paham keagamaannya yang progresif hasil rumusan/ijtihad para ulama tarjih.


Periode KH Mas Mansur (1936-1942)


KH Mas Mansur adalah pembentuk dan pengisi jiwa Muhammadiyah sehingga Muhammadiyah lebih mantap dan berisi. Pada periode ini dirumuskan “Masalah Lima” yaitu masalah dunia, agama, qiyad, sabilillah, dan ibadah. Tidak lama setelah rumusan masalah lima ini keluar, disusun pula “Langkah Dua Belas”. Oleh karena itu, pada periode ini Muhammadiyah betul-betul menjadi dinamis dan berbobot.


Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953)


Yang paling spektakuler ialah apa yang ditempuh Ki Bagus Hadikusumo dengan menyusun Landasan Ideologi Muhammadiyah yaitu “Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang berfungsi sebagai jiwa dan semangat pengabdian serta perjuangan Muhammadiyah. 


“Sebagai sebuah ideologi, Mukadimah Anggaran Dasar menjiwai segala gerak dan usaha Muhammadiyah dan proses penyusunan kerja sama yang dilakukan untuk mewujudkan tujuannya,” demikian Haedar Nasir dalam bukunya “Manhaj Gerakan Muhammadiyah”.


Periode AR Sutan Mansur (1953-1959)


Pada periode ini lahir yang disebut Khitah Palembang yang isinya adalah revitalisasi ruh tauhid.


Periode HM Yunus Anis (1959-1962)


Lahir pedoman penting yang disebut Kepribadian Muhammadiyah, konsep awalnya merupakan buah fikir KH Fakih Usman kemudian disempurnakan oleh sebuah tim.


Periode AR Fakhruddin (1968-1971)


Pada periode ini muncul slogan “Memuhammadiyahkan Kembali Muhammadiyah”. Sebuah usaha untuk mengadakan pembaruan internal Muhammadiyah dengan merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.”


Periode pasca AR Fakhruddin


Periode KH Azhar Basyir, Buya Syafii Maarif, Amien Rais, Din Syamsuddin, dan Haedar Natsir yang boleh dikatakan monumental ialah tersusunnya Pedoman Hidup Islami. Ini adalah sebuah tuntunan kehidupan warga Muhammadiyah yang cukup komprehensif karena hampir mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, organisasi, bisnis, dan sebagainya.


Apa yang dikemukakan di atas itulah buah fikir yang sangat brilian dari para tokoh Muhammadiyah generasi awal. Mereka adalah para pemikir sekaligus praktisi Muhammadiyah (kalau boleh saya menyebut mereka adalah para rausyan rikr-nya Muhammadiyah). Karyanya bukan hanya ungkapan teorietis, melainkan betul-betul punya daya dorong untuk dipraktekkan secara riil dalam bermuhammadiyah.


Jadi, tidak sulit apabila kita ingin menemukan Muhammadiyah dalam wajahnya yang benar maka bermuhammadiyahlah dengan cara memahami dan mengamalkan seluruh pedoman hasil karya para founding father kita itu.


Bila kita bermuhammadiyah dengan mengikuti pedoman baku tadi, insyaallah kita akan tergolong kafah dalam bermuhammadiyah. Bermuhammadiyah secara kafah artinya bermuhammadiyah secara intrinsik. Yakni kita dapat memandang Muhammadiyah sebagai comprehensive commitment dan driving integriting motive” sehingga kita bisa merasakan nikmatnya bermuhammadiyah.


Bila tidak demikian, bermuhammadiyah kita adalah bermuhammadiyah secara ekstrinsik. Yakni memandang Muhammadiyah sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan akan status, jabatan, bahkan dijadikan sebagai batu loncatan.


Cara bermuhammadiyah seperti ini hanyalah mengutamakan bentuk luar. Pelakunya tidak akan merasakan nikmatnya bermuhammadiyah apalagi menunjang terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah. Wallahu a’lam bishawab.

Iklan