JAKARTA -- Muhammadiyah belum terlambat untuk memanfaatkan jaringan dan organ-organnya untuk mengadopsi model organisasi New Social Movement. Memang sudah ada lembaga-lembaga berbasis isu, namun lembaga itu berada pada posisi periferal karena dianggap bukan jiwa dan ruh persyarikatan Muhammadiyah.
MENGHENTAK! Opini Tribun Timur edisi 9 Januari 2010, Siapa Bilang Suara Perempuan Aurat? (Kritik Pelarangan MC Perempuan di Milad 1 Abad Muhammadiyah) seolah ingin berkisah bahwa konservatisme (baca: kejumudan) adalah kado ulang tahun seabad Organisasi Islam Modern terbesar di dunia ini.
Organisasi yang didirikan oleh sang sosok "manusia besar" (Great Individual), Kyai Ahmad Dahlan. Menurut Nurcholish Madjid (1983), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught).
Seabad, umur yang cukup uzur bagi sebuah organisasi keagamaan yang bernama Muhammadiyah. Jika kita melakukan personifikasi, maka Muhammadiyah sesungguhnya telah mendapat diskon lebih 37 tahun dari umur Nabi Muhammad SAW.
Adakah umur yang renta tersebut membuat Muhammadiyah seperti gajah bengkak, gerakan yang sangat besar, namun memiliki penyakit kronis. Penyakit yang sebentar lagi akan membuatnya meregang nyawa. Apakah itu berarti kita harus segera memahatkan batu nisan untuk menyambut kematiannya?
Tentu saja sebagai kader Muhammadiyah, penulis masih memiliki optimisme bahwa Muhammadiyah masih bisa menyongsong abad kedua dengan penuh antusiasme dan progresifitas. Oleh karena itu potongan gagasan berikut semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kesembuhan Muhammadiyah.
Saya ingin menuliskan mozaik gagasan ini dalam kerangka "TBC". Sebuah jargon dakwah yang cukup populis di Muhammadiyah. TBC ini bukan Tuberculosis/Tuberkulosa alias penyakit paru-paru yang disebabkan oleh bakteri. TBC yang Muhammadiyah maksudkan adalah Takhayul, Bid'ah, dan Churafat.
Sebagaimana yang lazim dipahami, takhayul adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak ada asal usulnya. Misalnya saja, membuat bangunan/jembatan, jika tidak ditanam kepala kerbau maka bangunan tersebut bisa runtuh. Bid'ah adalah praktek keagamaan yang diada-adakan yang tidak ada contohnya dari Nabi Muahammad SAW.
Contohnya banyak sekali, di antaranya adalah; Tahlilan atau selamatan kematian, praktiknya meniru kebiasaan orang Hindu. Sedangkan Churafat/Khurafat adalah cerita mengenai sesuatu yang tidak jelas asal-usulnya namun melegenda. Misalnya saja; kepercayaan kepada kesaktian cincin yang diwariskan turun temurun.
Dalam konteks tulisan ini, penulis ingin memberikan "makna lain" tentang TBC. Bukan dalam terma ilmu kesehatan ataupun terma yang telah populis di Muhammadiyah. TBC yang saya maksudkan tetap merupakan kepanjangan dari Takhayul, Bid'ah, dan Churafat.
Takhayul dimaknai sebagai kemampuan melampaui kelaziman. Atau sebutlah takhayul itu sinonim dengan kata imajinatif. Sesuatu yang menggugah dan mencerahkan. Demikian pula bid'ah diberikan "makna lain" sebagai kreatifitas. Sedangkan khurafat, diterjemahkan kedalam pemaknaan; kemampuan memberi makna terhadap realitas.
Gerakan "Takhayul"
Muhammadiyah sebagai "gerakan takhayul" (baca: imajinatif) berarti gerakan ini memiliki gagasan-gagasan yang imajinatif dalam ranah keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Setidaknya ada beberapa gagasan yang harus dituntaskan oleh Muhammadiyah jika ingin disebut sebagai gerakan penyuluh zaman.
Pertama, terma "Ar-Ruju' Ila Quran wa hadits" yang sering menjadi jurus andalan Muhammadiyah perlu diberikan tafsiran penjelas. Masalahnya hampir semua gerakan Islam juga mengklaim Quran dan Hadits sebagai rujukan. Meskipun penafsirannya akan beragam.
Muhammadiyah tidak akan memiliki pembeda kalau juga terjebak kedalam jurus-jurus apologetif semacam ini. Meminjam istilah ilmu logika, jangan-jangan Muhammadiyah terjebak ke dalam fallacies of misplaced concreteness (menjelaskan sesuatu yang abstrak dengan penjelasan abstrak).
Solusinya adalah Muhammadiyah perlu membuat risalah Islam komprehensif dalam pahaman Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak lagi cukup memadai untuk menjelaskan kompleksitas persoalan dunia.
Spirit "ar-Ruju' Ila Quran wa hadits" perlu dimaknai sebagai sebuah komitmen Muhammadiyah untuk menggali nilai-nilai (menafsir) Quran dan Hadits untuk menjawab problem kemanusiaan dan peradaban. Dalam menyelami persoalan masyarakat, tentu saja Muhammadiyah mau tak mau juga harus merujuk pada "koran wa hard disk" (Baca: Ayat-ayat kemanusiaan).
Kedua, bagaimana gagasan Muhammadiyah tentang Indonesia. Spanduk besar yang terpampang di depan Pusat Dakwah Muhammadiyah Tamalanrea bertuliskan "Ketika orang baru belajar tentang Indonesia, jutaan orang telah mengenal Muhammadiyah", menjadi bukti bahwa Muhammadiyah adalah salah satu elemen yang turut mendeklarasikan lahirnya Republik Indonesia.
Alangkah naifnya, jika masih ada orang Muhammadiyah yang memperhadap-hadapkan antara keislaman dan keindonesiaannya. Menjadi orang Muhammadiyah berarti menghirup keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas. Indonesia adalah produk objektifikasi Islam terbesar di abad ke-20.
Gerakan "Bid'ah"
Kalau takhayul bergerak pada imajinasi gagasan, maka Bid'ah bergerak dalam ranah "kreatifitas" manajemen gerakan. Dalam sebuah talk show di salah satu TV swasta, Rachlan aktivis Imparsial, mengkritik Amien Rais dan Din Syamsuddin. Mereka dianggap pendatang baru dalam dunia pemberantasan korupsi.
Memang waktu itu Din berhasil menjelaskan kiprahnya bersama Muhammadiyah dalam pemberantasan korupsi. Namun ada satu hal yang terbetik dalam benak saya. Apakah Muhammadiyah hanya terlibat dalam seruan-seruan moral semata dalam pemberantasan korupsi?
Tidak adakah majelis atau lembaga yang bisa ditugasi khusus untuk melakukan kerja-kerja advokasi kasus korupsi? Kenapa Muhammadiyah tidak bisa bergerak seprogresif ICW dalam isu korupsi, Walhi dalam isu lingkungan atau LBH dalam ranah hukum?
Muhammadiyah belum terlambat untuk memanfaatkan jaringan dan organ-organnya untuk mengadopsi model organisasi New Social Movement. Memang sudah ada lembaga-lembaga berbasis isu, namun lembaga itu berada pada posisi periferal karena dianggap bukan jiwa dan ruh persyarikatan Muhammadiyah. Pada domain inilah integrasi antara Landasan normatif Gerakan Muhammadiyah dengan isu-isu aktual layak diberi perhatian serius oleh para pimpinan gerakan.
Disamping model new social movement tersebut, model virtual movement juga layak dipertimbangkan sebagai wujud artikulasi gerakan. Keberhasilan gerakan facebooker dalam menggalang lebih dari sejuta dukungan untuk menolak kriminalisasi KPK, ataupun inisiasi para blogger dalam gerakan "koin untuk Prita" membuat virtual movement ini juga harus dijadikan kiblat model gerakan sosial.
Ranah New parliamentary Movement (Gerakan Parlementer Baru) juga belum digarap Muhammadiyah secara serius. Tatkala bicara tentang Politik, Muhammadiyah sekadar bicara pada isu-isu moral politik, tapi masih gagal menjadi inspirator visi bagi para politisi.
Tersebarnya kader-kader Muhammadiayh sebagai politisi di berbagai partai politik masih sekadar dilihat sebagai lumbung dana. Belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengagregasikan visi kebangsaan Muhammadiyah dalam ranah kebijakan publik.
Ada model gerakan klasik yang semakin ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah, yakni entrepreneurship movement (Gerakan Kewirausahaan). Kyai Dahlan dulu mendakwahkan Islam sambil menjajakan batik, kini kader Muhammadiyah mendakwahkan Islam sambil menjajakan "proposal kegiatan".
Belum lagi letak strategis model gerakan ini jika dikaitkan dengan analisis The Ruling Elite Anies Baswedan, bahwa dua-tiga dekade kedepan the ruling elite bangsa ini akan berasal dari kaum entrepreneur. Maukah Muhammadiyah menjadi penonton di pinggiran jalan raya sejarah? Menonton bangsa yang dibidaninya dibesarkan tanpa menghiraukan nilai-nilai dan visi yang dianutnya.***
Sumber: Tribun Timur, Jumat, 15 Januari 2010
Penulis: Hadisaputra, Aktivis Pemuda Muhammadiyah Sulsel