JAKARTA -- Sesaat setelah Teks Proklamasi dibacakan oleh Sukarno pada 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Timur sekira pukul 10.00 WIB, tidak serta merta bangsa Indonesia dari ujung barat sampai timur kepulauan dan dunia mengetahui informasi penting itu, tak lain salah satunya disebabkan minimnya akses informasi saat itu.
Oleh karena itu semua pihak ikut memberikan sumbangsih menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah Adam Malik Batubara yang pada waktu kemerdekaan berusia 28 Tahun. Adam Malik menjadi ‘corong’ yang pertama-tama membantu menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia setelah dibacakannya teks Proklamasi oleh Sukarno.
Adam Malik Batubara lahir dari keluarga Muhammadiyah dari seorang bapak bernama Abdul Malik Batubara dan ibu yang bernama Salamah Lubis. Adam Malik merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara yang hidup dalam keluarga yang kental dengan budaya Batak Mandailing.
Adam Malik memulai pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pematang Siantar (1929), dan sempat mengenyam pendidikan agama di Madrasah Thawalib Parabek, Bukittinggi. Tidak hanya di pendidikan formal, pada masa remaja juga ‘Si Bung Kecil’ ini aktif di gerakan Kepanduan Hizbul Wathan.
Adam Malik mengenyam pendidikan di Madrasah Thawalib Parabek ini hanya setahun (1929-1930). Meski hanya sekejap saja di Madrasah Thawalib Parabek, Adam Malik mendapatkan kesan mendalam tidak hanya untuk urusan pendidikan Agama Islam yang diajarkan, tapi di sini Si Bung Kecil mendapatkan inspirasi dan memupuk semangat anti penindasan.
Selama di Madrasah Thawalib Parabek, Adam Malik gemar sekali menyimak atau mengikuti pertandingan pidato, muzakarah, atau debat antar pelajar. Dalam penelitian Lely Kusuma D.K (2016), ada dua sosok yang menyita perhatian dan menginspirasinya, yaitu H. Muchtar Lutfi dan Rasuna Said. Orasi yang menyala dan mendalam yang disampaikan oleh dua orator ini menginspirasi dan memantik semangat juang Adam Malik untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan.
Selain menempuh pendidikan HIS Pematang Siantar dan selesai pada 1929, Adam Malik juga sempat menempuh pendidikan di Madrasah Thawalib Parabek mulai 1929 sampai 1930, tidak sampai tamat, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Agama Al Masrullah mulai 1930 sampai 1932 juga tidak tamat.
Usaha menciptakan perdamaian dan kesejahteraan ini telah tertanam di jiwa Adam Malik sejak masih belia. Itu tertanam sejak Si Bung Kecil membantu orang tuanya untuk berdagang. Ayahnya, Abdul Malik Batubara merupakan pedagang pesohor di kampungnya. Dia memiliki usaha jual beli pakaian yang bisa diecer oleh kelompok masyarakat miskin.
Setelah dibantu oleh Adam Malik, Abdul Malik Batubara berhasil menambah jaringan kedai atau toko yang ia beri nama “Toko Murah”. Selain untuk menarik minat pembeli, pemilihan nama “Toko Murah” ini juga karena barang-barang yang dijual di tokonya murah-murah dan dapat diecer oleh kalangan masyarakat miskin, barang yang tersedia di toko itu antara lain kain blacu, kain-kain batik murah untuk keluarga para kuli, sarung palekat, serta pakaian harian untuk dikenakan masyarakat muslim di sana.
Kanal Politik dan Jurnalistik untuk Kemerdekaan Indonesia
Pembelaan yang Adam Malik berikan kepada kelompok masyarakat miskin melalui Toko Murah dirasa belum memuaskan. Kemudian ia masuk ke kanal pembelaan melalui jalur politik, Ketika sudah dipercaya oleh bapaknya untuk mengurusi toko, Adam Malik sejak belia telah ditugaskan untuk belanja barang kebutuhan toko ke Singapura dan Jawa. Selain itu ia juga memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang Siantar sampai partai itu dibubarkan oleh Belanda pada 1934.
Ketika belanja barang toko ke Pulau Jawa dimanfaatkan oleh Adam Malik untuk menambah pengetahuannya tentang politik. Terlebih dia memiliki kakak ipar yang bernama Arif Siddiq yang aktif dalam pergerakan politik di Pekalongan, Jawa Tengah. Melalui kerabat yang ada di Jawa inilah Adam Malik dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan politik di Jawa.
Pendidikan politik telah didapatkan Adam Malik ketika aktif menjadi anggota Hizbul Wathan (HW) yang notabene adalah gerakan sayap atau organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah. Lely Kusuma (2016) menyebutkan, Muhammadiyah di Pematang Siantar kala itu juga dikenal sebagai organisasi ‘semi politik’.
Meski Muhammadiyah sejak dilahirkan bukan sebagai organisasi politik, namun praksis sejak kelahirannya hingga saat ini Muhammadiyah tak mampu sepenuhnya melepaskan diri dari relasi politik (Murod, 2017). Sehingga secara tidak langsung dalam perbincangan dan relasi yang terbangun di Muhammadiyah tidak bisa lepas dari realitas sosial, politik, termasuk ekonomi yang melingkupi masyarakat di mana Muhammadiyah itu hadir.
Ketika di Partindo Pematang Siantar yang merupakan gerakan sayap PNI inilah senyampang keahlian Adam Malik dalam dunia jurnalistik atau kewartawanan menguat. Saat itu dia sering menulis untuk harian internal Partindo, selain itu juga menjadi penulis di Harian Pelita Andalas, sebuah surat kabar lokal yang dimiliki oleh Djauhari Salim dan Hamid Lubis.
Ketika Partindo dibubarkan Belanda, Adam Malik masih berusia 17 tahun yang kemudian memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1934. Selama di Jakarta hidupnya penuh dengan lika-liku perjuangan, Si Bung Kecil sempat dipenjara pada 1935-1937 bersama Yahya Nasution di penjara Struiswijk – ini merupakan kali kedua dirinya merasakan jeruji besi dan dinginnya tembok penjara setelah sebelumnya dipenjara di Padang Sidempuan.
Setelah bebas dari masa tahanan, Adam Malik pada tanggal 13 Desember 1937 bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna mempelopori berdirinya Kantor Berita Antara. Saat itu Adam Malik langsung ditunjuk sebagai Redaktur Pelaksana merangkap Wakil Direktur.
Tak lama setelah itu Belanda menyerah pada Jepang pada 1942. Hengkangnya Belanda berganti Jepang tidak membuat tenang para pemimpin politik. Adam Malik (Mengabdi Republik I, 1978) menyebut ketika Jepang datang para pemimpin politik mulai meninjau kembali keadaan, mereka merumuskan cara-cara baru dalam strategi yang akan dijalankan. Berbagai cara dirumuskan untuk satu pokok tujuan yaitu bebas dari penjajahan Jepang.
Pada tahun yang sama Kantor Berita Antara berpindah dari Buiten Tijgerstraat 38 Noord Batavia (sekarang Jl. Pinangsia II Jakarta Utara) ke Noord Postweg 53 Paser Baroe (sekarang Jl. Pos Utara No. 53 Pasar Baru). Dikutip dari Adam Malik Menembus Empat Zaman “Memperingati 100 Tahun Adam Malik” (ANRI, 2017) perpindahan alamat sekaligus ditandai dengan menyatunya Kantor Berita Antara dengan Kantor Berita Domei.
Aktivitas sebagai wartawan sekaligus fotografer ini memberikan kemudahan akses informasi untuk Adam Malik tentang banyak hal, termasuk dunia internasional di masa itu. Melalui informasi-informasi yang dikumpulkan, Adam Malik yang juga dijuluki “kancil” ini dapat memberikan masukan-masukan penting dalam semangat merebut kemerdekaan dari segi peta politik global yang terjadi saat itu.
Selain menjadi wartawan, saat pendudukan Jepang Adam Malik juga aktif dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Melalui jurnalistik peran Adam Malik sangat besar untuk kemerdekaan, yaitu dengan menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dikutip dari antara.com, disebutkan rencana penyebarluasan Proklamasi Indonesia ke seluruh dunia dipimpin oleh Adam Malik yang mendiktekan naskah proklamasi dari tempat persembunyiannya karena dikejar-kejar tentara Jepang. Adam Malik dibantu Pangulu Lubis, satu-satunya orang ANTARA yang diminta bersiap-siap menyebarkan berita Proklamasi dengan mengatakan “bersiap-siap menyiarkan sebuah berita penting”.
Setelah teks Proklamasi dibacakan Soekarno, Adam Malik menelpon ANTARA, diterima oleh Asa Bafagih yang diminta untuk menyampaikannya kepada Pangulu Lubis dengan berpesan “Jangan sampai gagal”.
Pangulu mengirimkan naskah ke bagian radio dengan menyelipkannya dalam morse-cast Domei, di antara berita-berita yang telah dibubuhi izin Hodohan. Markonis Soegirin menjaga agar teks Proklamasi itu tersiar dan Markonis Wua yang mengirimkan. Maka menyebarkan berita Proklamasi Indonesia ke daerah dan internasional.***