JAKARTA -- Pada 21 Juli 1947 merupakan salah satu hari bersejarah bagi Indonesia, dimana pada waktu tersebut Agresi Militer Belanda 1 yang menyebabkan banyaknya kota dan daerah di Indonesia dikuasai kembali oleh Belanda.
Akhirnya, dengan prakarsa para ulama di Yogyakarta yang memperhatikan kejadian tersebut, maka pada tanggal 17 Ramadhan 1367 Hijriah atau bertepatan pada 23 Juli 1947 Masehi, para ulama bermusyawarah dan melakukan I’tikaf Bersama di Masjid at-Taqwa Suronatan dan pada akhir musyawarahnya terlahir sebuah organisasi kelaskaran yang dipimpin dan dibina oleh para ulama dan diberi nama Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MU-APS).
Struktur
MU-APS didirikan oleh para ulama yang tergugah oleh kondisi bangsa yang terjajah dengan beberapa anggotanya yaitu KH Mahfudz, KH Ahmad Badawi, KHR Hadjid, Ki Bagus Hadikusuma, HM Sarbini, KHM, Djuraimi, M Bakri Sjahid, Siradj Dahlan, Abdul Djawad, M. Bakri Sudja’.
Sebagian besar, atau bahkan seluruh pimpinan dan anggota MU-APS adalah ulama, tokoh dan para kader Muhammadiyah yang bermukim di Kauman dan Karangkajen. Seperti KH Ahmad Badawi dan Ki Bagus Hadikusumo yang keduanya sempat menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, KH M. Djuraimi, pendekar Tapak Suci yang cukup aktif di Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Bakri Syahid yang tercatat kerap menjadi anggota MPKU PP Muhammadiyah, Perwakilan Istimewa di Jakarta, dan Badan Urusan Haji. Juga Siradj Dahlan, putra KH Ahmad Dahlan yang aktif di Bagian HW, Bagian Taman Pustaka dan Comissaris di Hofdbestuur / Pengoeroes Besar Muhammadiyah. Serta Bakri Syahid yang kelak berpangkat Brigadir Jenderal TNI dan menjadi rektor pertama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Rektor ke-4 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dikenal sebagai tokoh perwira militer yang juga memiliki karya tafsir Al-Quran, yaitu “Tafsir Al-Huda”.
Maka, pembentukan organisasi tersebut juga telah disetujui oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Panglima Besar Jendral Sudirman serta dimbimbing langsung oleh pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk melatih langsung para anggota MU APS. Salah satu tokoh yang di utus untuk melatih MU APS adalah Soetomo (Bung Tomo) dari pasukan TKR.
Peran MU-APS
Organisasi ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat perencanaan strategi militer, tetapi juga sebagai tempat untuk memperkuat semangat juang melalui pendekatan spiritual. Para ulama yang tergabung dalam MU-APS memainkan peran kunci dalam menyatukan tekad Masyarakat untuk berjuang melawan kolonialisme dan mengedepankan semangat jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah) sebagai landasan moral dalam perjuangan.
Beberapa tragedi penting seperti perlawanan Kedu Selatan yang sekarang disebut dengan daerah Kebumen, pemberontakan melawan republik pada 18 September 1948 di Madiun dimana pemberontakan terhadap TNI (saat itu TKR) dan APS tersebut didalangi oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan reorganisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), lalu tragedi perlawanan APS pada peristiwa agresi militer 2 yang mengakibatkan lima orang anggota APS telah gugur sebagai syuhada telah menjadi saksi atas perjuangan pasukan APS untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di bawah naungan MU-APS, para ulama tidak hanya merumuskan strategi perlawanan, tetapi juga mengorganisir dukungan logistik dan medis bagi para pejuang. Mereka juga memberikan bimbingan moral dan spiritual kepada para pejuang, sekaligus menyebarkan fatwa-fatwa yang mendorong perlawanan terhadap penjajah.
Peran MU-APS telah menjadi bukti sinergi antara dakwah, perjuangan bersenjata, dan aspirasi untuk kemerdekaan Indonesia serta telah menjadi simbol persatuan antara ulama dan Masyarakat dalam berjuang bersama-sama untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. ***(Bhisma)
Sumber: Sejarah Karangkajen 1920-1970 : Sinergi Industri Batik, Dakwah dan Perjuangan, karya Muhammad Utama Al Faruqi, dkk., (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2024).