Iklan

Iklan

,

Iklan

Muhammadiyah-NU: Tambang Oh Tambang!

Redaksi
Kamis, 08 Agustus 2024, 11:42 WIB Last Updated 2024-08-08T04:42:29Z


JAKARTA --
Beberapa pekan ini, dua organisasi besar keagamaan Indonesia, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi trending topik tidak hanya di pemberitaan, tetapi juga diberbagai diskusi lintas ilmu dengan satu tema "tambang". Saking hangatnya hingga menjadi guyonan dalam bentuk narasi atau video berdurasi singkat, tak lain karena identitas gerakan yang selama ini dinilai berbeda bahkan dianggap berlawanan, namun disatukan dalam tambang. 


Pro kontra muncul tanpa bisa terbendung. Internal Muhammadiyah masih terus melakukan diskusi alot, pro kontra tidak  terhindari walau secara resmi pimpinan pusat telah menerima tawaran pemerintah menyusul NU. Penulis berkeyakinan, hal serupa juga terjadi di organisasi Islam NU dengan jumlah warga Islam terbanyak. Maklumlah dua organisasi ini sejak lahir, kanak-kanak, remaja dan sekarang berusia dewasa (sama-sama telah berusia satu abad lebih), terindentifikasi sebagai organisasi yang konsen dengan pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan khusus Muhammadiyah. 


Sedangkan NU telah juga lama merambah ke dunia politik. Kedua organisasi besar dikenal dunia sebagai identitas organisasi Islam Indonesia. Mereka bersama bergerak diranah masing-masing,  melakukan gerakan sosial perubahan dengan tujuan untuk Indonesia lebih baik (Islam rahmatan lil 'alamin). 


Sebagai organisasi Islam modern yang mengutamakan kemaslahatan umat serta bangsa dengan maenstream berkemajuan, Muhammadiyah yang terdiri atas organisasi otonom, kader-kader tersebut tersebar disegala jenjang profesi dan jabatan publik, mulai bersuara. 


Ada bersuara lantang menolak, ada yang sami'na wa'athona, ada yang silent tanpa bisa berkomentar, dan ada pula yang masih abu-abu menentukan pendapat. Semua sah-sah saja. Bagi pimpinan Muhammadiyah tingkat pusat, wilayah, daerah sampai ke cabang dan ranting, berpendapat bukanlah larangan, karena sebagai organisasi kolektif kolegial Muhammadiyah terbuka dengan ide, gagasan dan kritikan. 


Munculnya kecemasan karena dampak dan  resiko pengelolaan tambang yang tidak  hanya menyebabkan polusi udara, lingkungan tercemar, penyakit seperti ISPA bahkan berujung kematian karena partikel beracun, merupakan bagian dari kekhawatiran bangsa yang tidak bisa dianggap remeh. Sebab faktanya pengelolaan tambang selama ini bagi masyarakat Kalimantan dan Sumatera, telah nyata merusak ekosistem tanah, air dan udara. 


Kebimbangan lain, kader dan warga persyarikatan, termasuk didalamnya organisasi perempuan 'Aisyiyah (walau tidak ada pernyataan resmi menolak), cemas saat PP Muhammadiyah memutuskan siap mengelola IUP sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, adalah efek jangka panjang yang juga akan bermuara ke hukum. 


Pada Diskusi online yang diikuti perempuan 'Aisyiyah dan warga Muhammadiyah dengan judul "Dengar Suara Warga Perempuan Muhammadiyah dari Tapak Tambang", Senin 5 Agustus 2024 secara daring melalui room zoom cloud meeting, menghadirkan tiga pemantik/pembicara: Kholida Annisa-LHKP PP Muhammadiyah, Hening Parlan-LLHB PP 'Aisyiyah dan Zulfatun Mahmudah-praktisi pertambangan, misalnya ditemukan beberapa hal yang menarik. 


Pertama, walau masih belum menemukan titik kesepakatan paham, kader Muhammadiyah tetap menghormati dan melaksanakan keputusan organisasi. Kedua, dari kasus ini hampir semua ortom yang ada di Muhammadiyah-'Aisyiyah menyuarakan aspirasi sebagai pribadi karena bimbang, kuatir  pengelolaan tambang akan memudarkan khittah organisasi. 


Dari kasus ini juga terlihat kepedulian, kecintaan kader persyarikatan pada eksistensi, nasib organisasi hingga mengkhawatirkan keamanan diri para pemimpinnya. Karena mereka memahami pengelolaan tambang tidak akan bisa terlepas dari berbagai proses hukum. Mulai dari tata kelola, proses, hasil hingga efek yang akan muncul,  include biaya besar dan harus disiapkan Muhammadiyah. 


Terlepas dari banyak kebimbangan diatas, sebagai kader dan warga Persyarikatan kita memang harus bersuara jika memang harus berbicara sebagai bagian untuk menjaga organisasi untuk tegak. Tentu saja, suara kita akan didengar pimpinan sebagai aspirasi yang tidak melulu berupa dukungan. 


Penulis : Amalia Irfani

Dosen IAIN Pontianak/

Sekretaris LPP PWM Kalbar 

Iklan