JAKARTA -- Membaca sepintas judul dalam tulisan ini mungkin terkesan aneh. Dalam hal ini, Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid dija-jarkan dengan Muhammadiyah. Bukankah semestinya Gus Dur lebih tepat diperbincangkan dengan NU atau Nahdlatul Ulama? Bukankah Gus Dur dan Muhammadiyah adalah dua identitas yang jelasber-beda.
Perbincangan tentang Gus Dur dan NU terasa sudah biasa. Gus Dur tidak akan bisa dipisahkan dari NU. Gus Dur adalah cucu pendiri NU, semua orang sudah mafhum. Gus Dur pernah menjadi ketua PB NU sejak tahun 1984, terpilih dalam Muktamar di Situbondo, dan baru setelahnya digantikan oleh KH Hasyim Muzadi hingga sekarang. Selain itu, Gus Dur adalah pendiri PKB, partai politik kaum Nahdliyin. Itu semua menjadikan antara NU dan Gus Dur tidak bisa dir pisahkan.
Saya selama ini melihat keduanya-entah disetujui atau tidak-memiliki persamaan, yaitu sama-sama dipandang sebagai gerakan pembaruan di Indonesia. Gus Dur, dengan berbagai pemikiran dan gerakan sosialnya, sekalipun tidak mengklaim sebagai pembaru, dianggap telah melakukan peran-peran perubahan yang sangat mendasar oleh berbagai kalangan. Demikian pula Muhammadiyah, secara eksplisit, yang menyebut dirinya sebagai organisasi pembaru.
Selanjutnya, kalau keduanya disebut sebagai pembaru atau katakanlah sebagai kekuatan pengubah, lalu adakah
perbedaan di antara keduanya? Jika hal itu memang berbeda, ada di wilayah mana perbedaan itu? Pertanyaan ini rasanya penting untuk dicarikan jawabannya. Sementara ini, saya melihat bahwa keduanya adalah pembaru, namun pendekatan yang digunakan di antara keduanya tampak amat berbeda.
Muhammadiyah yang dirintis oleh KH Achmad Dahlan melakukan pembaruan dengan mendirikan organisasi. Berbagai aspek keagamaan disentuh sebagai bagian dari wilayah pembaruan itu. Dengan sen-tuhan-sentuhan itu, ada beberapa aspek yang terasa berbeda dengan sebelumnya. Sehingga, siapa pun bisa membedakan NU dan Muhammadiyah. Katakanlah, misalnya, orang NU dalam shalat Subuh menggunakan doa kunut, sedangkan Muhammadiyah tidak. NU dalam shalat Jumat menggunakan dua azan, sedangkan Muhammadiyah hanya satu azan. Jamaah NU shalat Id di masjid, sedangkan Muhammadiyah di lapangan.
Perbedaan itu sesungguhnya sederhana saja. Bahkan, akhir-akhir ini sudah semakin saling mendekat atau berbaur, setidak-tidaknya perbedaan itu semakin tidak dihiraukan. Misalnya, orang NU shalat berjamaah dengan orang Muhammadiyah, siapa pun yang menjadi imam dianggap sah. Tidak sedikit orang NU shalat tarawih hanya delapan rakaat sebagaimana orang Muhammadiyah melakukannya. Demikian pula orang Muhammadiyah khotbah shalat Id di masjid dan begitu juga sebaliknya. Hal itu judah banyak terjadi dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang ganjil atau aneh. Dulu, diakui atau tidak, gerakan Muhammadiyah menghadapi resistensi luar biasa besarnya.
Hal itu sangat berbeda dengan pembaruan yang dilakukan oleh Gus Dur. Sekalipun resistensi itu ada, tawaran-tawaran pembaruan yang dilakukan oleh Gus Dur tidak sampai melahirkan perasaan khawatir atau ketakutan, kecuali beberapa pihak saja. Jika ada tokoh yang tidak menyetujui pandangan Gus Dur, paling banter, mereka hanya diam. Tokoh yang pernah menjadi ketua PBNU dan juga pemrakarsa berdirinya PKB ini, sekalipun memiliki pikiran dan pandangan yang sangat berbeda, masih tetap diterima sebagai pimpinannya. Perubahan yang ditawarkan oleh Gus Dur tidak ada resistensi, kecuali beberapa yang tidak terlalu berpengaruh.
Kalau benar demikian, pertanyaannya adalah apa yang berbeda antara Gus Dur dan Muhammadiyah jika kedua-duanya disepakati sebagai kekuatan pembaru. Sepintas, saya melihat perbedaan itu terletak pada pendekatan yang dilakukannya. Muhammadiyah dengan pembaruannya melahirkan identitas baru yang berbeda dari kelompok lainnya. Munculnya Muhammadiyah melahirkan sekolah Muhammadiyah, masjid Muhammadiyah, ritual orang-orang Muhammadiyah, bahkan juga baju seragam muhammadiyah, dan sebagainya.
Perbedaan itu kemudian melahirkan jarak. Dengan jarak itu, tidak jarang memunculkan perasaan berbeda, identitas berbeda, dan bahkan kemudian melahirkan kompetisi atau juga konflik. Satu sama lain menjadi merasa tersaingi atau terganggu.
Sementara itu, saya melihat bahwa Gus Dur juga melakukan pembaruan, tetapi tidak memunculkan identitas baru. Ketika Gus Dur melakukan pembaruan di tubuh NU, orang-orang NU di berbagai tingkatan tidak pernah merasa diubah. Hal itu karena Gus Dur tidak pernah melakukan perubahan pada tingkatan identitas atau simbol-simbol.
Orang-orang NU tetap saja memakai sarung dan kopiah, shalat Id di masjid, shalat tarawih 20 rakaat, tetap saja tahlil, talkin, dan juga ziarah kubur. Hal-hal seperti itu, oleh Gus Dur, tidak pernah disentuh, melainkan tetap dijalankan sebagaimana sedia kala.
Namun, jangan dikira Gus Dur tidak melakukan perubahan. Dengan berbagai langkah strategisnya, Gus Dur telah melakukan perubahan di kalangan NU sedemikian dahsyat. Perubahan itu, saya lihat terletak bukan pada wilayah-wilayah identitas yang bersifat simbolik, melainkan pada wilayah yang lebih dalam, yaitu pandangan dan pemikiran, tidak terkecuali pemikiran tentang keagamaan. Jika kita mau melihat secara jeli, pemikiran-pemikiran anak muda NU, termasuk dalam pemikiran keagamaan, melalui Gus Dur, menjadi terbuka luar biasa. Akan tetapi, perubahan itu seolah-olah tidak dirasakan oleh orang-orang NU sendiri.
Melalui fenomena itu, saya melihat. Gus Dur dan Muhammadiyah telah melakukan perubahan, tetapi masing-masing menempuh pendekatan yang berbeda dan ternya ta hasilnya juga berbeda.
Perubahan yang dilakukan oleh Muhammadiyah melahirkan perasaan dan kelompok yang berbeda. Sedangkan, Gus Dur yang mengubah dari dalam, apalagi perubahan itu bukan berada pada wilayah simbolik, melainkan menyentuh aspek yang lebih dalam-berupa cara pandang, pemikiran, dan ide-ide tentang banyak hal, misalnya demokrasi, politik, sosial, dan lain-lain-membuat perubahan itu tetap terjadi dan bahkan dalam hal-hal tertentu lebih dahsyat, tanpa dirasakan.
Gus Dur tetap dianggap sebagi bagiannya dan bahkan harus dicintai dan selalu diikutinya. Wallahuallam.
Sumber: Republika, 18 Jan 2010
Prof Dr Imam Suprayogo (Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang)