Iklan

Iklan

,

Iklan

Kristen Muhammadiyah, Cara Toleransi Muhammadiyah dengan Non-Muslim

Redaksi
Kamis, 12 Desember 2024, 16:39 WIB Last Updated 2024-12-12T09:39:27Z


YOGYAKARTA –
Perintah supaya Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam menjadi landasan teologis bagi Muhammadiyah dalam memberikan pelayanan bagi semua tanpa memandang latar agama dan lain sebagainya.


Landasan teologis ini digunakan oleh Muhammadiyah termasuk dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi saudara non-muslim di beberapa daerah, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT) atau di Kota Kupang, Papua, Sulawesi Utara, dan beberapa daerah yang lain.


Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto pada Kamis (12/12) dalam kultum bakda Salat Duhur di Masjid AR Fachruddin Kantor PP Muhammadiyah, di Yogyakarta menyampaikan dalam konteks Muhammadiyah, relasi baik antara Kristen dengan Muhammadiyah melahirkan istilah sosiologis yaitu Krismuha.


Krismuha yang merupakan akronim dari Kristen – Muhammadiyah merupakan istilah sosiologis hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dengan Fajar Riza Ul Haq di beberapa institusi pendidikan Muhammadiyah yang memiliki siswa dan guru non muslim.

 

“Kristen Muhammadiyah ini adalah istilah yang digunakan secara sosiologis, bukan secara teologis. Artinya tidak ada perpaduan antara Kristen dengan Muhammadiyah atau sinkretisme agama,” kata Agung.


Menurut Agung, Krismuha merupakan identifikasi atau pengistilahan bagi kelompok non-muslim yang membangun pergaulan erat dan simpati dengan Muhammadiyah atas pelayanan yang diberikan oleh Muhammadiyah, khususnya di bidang pendidikan.


Diterimanya Muhammadiyah di berbagai daerah minoritas muslim, kata Agung, disebabkan pola inklusif yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam bergaul dengan siapa saja dalam memberikan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan lain sebagainya.


Melihat relasi agama dalam konteks yang lebih luas, Ahli Hadis ini menjelaskan, hubungan lintas iman di Indonesia bahkan dunia relatif hangat. Terlebih ketika Perang Salib. Pasca Perang Salib, elasi agama Islam dengan Kristen juga masih renggang, dapat dilihat dalam dikotomi pendidikan.


“Masa lalu pendidikan kita selalu dibenturkan – dikonflikan antara muslim dengan non-muslim. Terlebih ketika Perang Salib. Kalau Perang Salib yang dikaji, tentu paradigmanya akan musuhan terus antara muslim dengan non-muslim,” ungkapnya.


Tidak ditemukannya benang merah relasi muslim dengan non-muslim juga disebabkan ketika memahami nash-nash Al Qur’an yang hanya secara tekstual. Agung menyebut ayat yang sering digunakan untuk mendikotomi dan memperlebar jarak relasi muslim dengan non-muslim adalah Surat Al Baqarah ayat 120.


Al Baqarah ayat 120 berisi tentang tidak ridanya kelompok Yahudi dan Nasrani terhadap muslim, sampai dengan muslim itu mengikuti millah atau aturan kewajiban yang dipercayai Yahudi dan Nasrani.


Menurut Agung Danarto, ayat tersebut harus dilihat konteks turunnya atau asbabun nuzulnya. Sebab jika dibaca secara tekstual, ayat ini menjadi alasan munculnya saling curiga antara muslim dengan non-muslim. Seorang muslim akan selalu curiga kepada Yahudi dan Nasrani, jika akan dimurtadkan.


Dalam beberapa riwayat, asbabun nuzul atau alasan turunnya Al Baqarah ayat 120 ini karena konteks dilanggarnya perjanjian Hudaibiyah. Selain pemahaman itu, riwayat lain juga menyebutkan, perintah ayat ini secara khassah atau khusus hanya kepada Nabi Muhammad SAW.


Tanwir Kupang, Islam Rahmat, dan Persatuan Indonesia


Pada 4 sampai 6 Desember 2024, Muhammadiyah sukses menyelenggarakan Tanwir I periode Muktamar 48 di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK). Kupang sebagai tuan rumah tanwir merupakan daerah mayoritas Kristen dengan 88,97 persen. Sementara Islam di Kupang hanya 1 persen dari total 455.502 jiwa penduduk Kupang.


Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) milik Persyarikatan Muhammadiyah, UMK mayoritas mahasiswa adalah non-muslim di angka lebih dari 80 persen. Dilihat dari persentase tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan pendidikan Muhammadiyah ini untuk semua, mencerminkan ajaran Islam yang penuh rahmat tanpa sekat.


Agung Danarto menggenang, selama dirinya mengikuti Tanwir Muhammadiyah di Kupang merasakan toleransi yang dibangun antara muslim dengan non-muslim begitu baik. Bahkan mahasiswa yang mayoritas non-muslim itu juga ikut menyukseskan Tanwir Muhammadiyah.


Mahasiswa UMK ditunjuk sebagai volunteer selama tanwir, ada yang menjadi bagian penjaga keamanan tergabung bersama KOKAM, menyediakan payung ketika hujan, menyiapkan konsumsi bagi setiap tamu yang datang, penunjuk arah, sampai mereka ada yang menyodorkan diri untuk menjadi bagian petugas kebersihan.


“Untuk menciptakan Islam rahmatan lil alamin itu harus didukung dengan prasangka yang baik, hubungan yang baik dan lain sebagainya. Hubungan yang baik ini menjadi suatu yang penting bagi umat antar agama,” katanya.


Berkaca dari suksesnya Tanwir Muhammadiyah di Kupang, kata Agung, bisa menjadi cerminan dan bahan belajar untuk membangun Indonesia yang rukun dan damai meski penuh dengan kemajemukan.


Perbedaan menurutnya tidak boleh dijadikan alasan untuk berpecah belah. Sebab jika melihat realitas yang terjadi di beberapa negara, Agung menyampaikan, persamaan kepercayaan agama belum menjamin keutuhan, kerukunan, dan tentramnya suatu bangsa dalam satu negara.


Agung menyebut seperti Ethiopia, Pakistan, sampai Sudan sebagai negara mayoritas muslim tapi mengalami perpecahan dan konflik yang berkepanjangan. Lebih-lebih ketika menghadapi peristiwa pergantian pimpinan, kerap kali menumpahkan darah untuk mendapatkan pemimpin baru.


“Kita bersyukur di Indonesia ini, supaya perdamaian terus dijaga dan dikembangkan. Muhammadiyah membangun hubungan yang baik di Indonesia bagian timur, dengan non-muslim juga baik,” ungkap Agung.


Meski demikian, Agung tidak menutup mata di mana masih ada beberapa daerah yang masih belum bisa mengelola perbedaan agama dengan baik di Indonesia. Muhammadiyah di daerah-daerah seperti itu diminta supaya pro aktif untuk membangun persatuan di atas perbedaan.


Toleransi untuk menjaga persatuan dan kedaulatan Indonesia supaya diamalkan oleh Warga Muhammadiyah. Namun toleransi, kata Agung, tidak boleh mengganggu aqidah atau tauhid yang menjadi pedoman bagi warga Muhammadiyah, sebagaimana yang pesan yang dikandung dalam Surat Al Kafirun.***(mhmd)

Iklan