JAKARTA — Dalam Konferensi Mufasir Muhammadiyah II yang digelar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA pada Jumat (13/12/2024), Muhammad Quraish Shihab memaparkan pemikiran mendalam tentang perkembangan metode tafsir, terutama tafsir maqasidi. Menurut pakar tafsir ini, tafsir Al-Qur’an terus berkembang seiring perubahan kebutuhan masyarakat.
“Setelah tafsir bil ma’tsur lahir tafsir bil ra’yi yang mempunyai ragam bermacam-macam. Corak dan penekanan pada penafsiran pun berkembang,” jelas Quraish Shihab. Ia menyebutkan bahwa tafsir bil ra’yi melahirkan penekanan yang beragam, seperti persoalan kemasyarakatan, bahasa, dan sejarah. Namun, ia juga mengingatkan adanya risiko tafsir yang melampaui batas atau yang terlalu membatasi diri.
Quraish Shihab menyoroti lahirnya tafsir maudhu’i atau tematik, yang berangkat dari ide pertanyaan manusia. “Idenya adalah apa yang ingin Anda tahu tanyakan pada Al-Qur’an,” ungkapnya, mengutip pesan Sayyidina Ali, ‘suruh Al-Qur’an bicara’. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua pertanyaan akan mendapat jawaban eksplisit, seperti teori evolusi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan perkembangan ke arah tafsir maqasidi, yang fokus pada tujuan Al-Qur’an dan kebutuhan masyarakat. “Tafsirkan sesuai apa yang ada dalam Al-Qur’an, tidak perlu cari yang lain lagi,” katanya, mengutip pandangan Syekh Muhammad Al-Ghazali. Menurutnya, memahami maksud setiap surat sangat penting, karena hal tersebut dapat membantu menyingkirkan penafsiran yang melenceng.
Sebagai contoh, ia menyoroti QS. Al-Ma’idah ayat 1 yang memuat kata auliya’. “Yang lebih penting daripada itu, kalau bicara mengenai maksud, adalah ada ancaman dalam ayat tersebut,” ujarnya. Ia juga menekankan perlunya memahami maksud ayat-ayat Al-Qur’an untuk menghindari pemahaman yang hanya bersifat literal.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa tafsir maqasidi bertujuan mencari solusi atas problematika masyarakat. “Dalam konteks maqasidi yaitu apa yang diperlukan masyarakat Anda, maka carilah itu,” tegasnya. Untuk mendukung hal ini, ia menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang kosa kata Al-Qur’an, seperti a’tha yang berarti memberi, atau aqimu al-shalah yang berarti menyempurnakan sikap, bukan sekadar berdiri dalam shalat.
Ia juga menjelaskan berbagai bentuk perintah membaca dalam Al-Qur’an, seperti qira’ah yang berarti membaca namun belum tentu diikuti, tilawah yang berarti membaca sekaligus mengikuti, dan tadabbur yang berarti memperhatikan dampak sesuatu.
Dalam tafsir maqasidi, menurutnya, ada beberapa ciri penting. “Jangan terlalu ambisius, lihat saja apa yang diperlukan masyarakat. Beri solusi,” ujarnya. Ia juga menambahkan perlunya pengetahuan tentang problematika masyarakat dan tantangan yang dihadapi. Sebagai contoh, ia menyebut metode Rasyid Ridha yang memberikan solusi di catatan kaki tafsirnya.
Quraish Shihab menutup pemaparannya dengan mengingatkan bahwa kebutuhan masyarakat berubah dari waktu ke waktu. “Kebutuhan kita sekarang beda dengan kebutuhan masyarakat 10 tahun yang lalu,” ungkapnya.
Dengan memahami maksud setiap surat, seperti Rahman yang menggambarkan rahmat ilahi atau Al-Baqarah yang menekankan kuasa Allah, tafsir maqasidi dapat memberikan solusi relevan bagi masyarakat kontemporer.
Metodologi Tafsir Kontemporer
Dalam pemaparannya, Quraish Shihab menjelaskan perkembangan pendekatan tafsir Al-Qur’an seiring berjalannya waktu.
“Pendekatan tafsir adalah pendekatan firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia,” jelas Quraish Shihab. Ia menegaskan bahwa perbedaan dalam penafsiran merupakan keniscayaan, mengingat manusia memiliki kecenderungan dan kepentingan yang berbeda-beda. “Saya garis bawahi bahwa Tuhan mau kita berbeda,” tambahnya.
Quraish Shihab memaparkan bahwa tafsir awalnya bersumber dari penjelasan Rasulullah, yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan tabi’in. Pada tahap ini, tafsir bil ma’tsur menjadi pendekatan utama, yang mengandalkan riwayat penafsiran dari Rasul, sahabat, atau tabi’in. Namun, ia mencatat bahwa perbedaan tafsir sudah mulai muncul di kalangan sahabat, karena kebutuhan dan problem manusia yang terus berkembang.
“Karena kebutuhan dan problem semakin beragam, orang-orang tidak lagi merasa cukup sehingga lahirlah perkembangan menjadi ‘memilah dan membagi’ penjelasan-penjelasan di dalamnya,” ujarnya. Ia juga menyebutkan peran tokoh ulama besar seperti Muhammad at-Tahir bin Ashur yang membagi penjelasan Rasulullah menjadi 11 macam ucapan, menandai perkembangan tafsir bil ma’tsur yang lebih terstruktur.
Seiring waktu, muncul tafsir bil ra’yi yang menawarkan keragaman corak dan penekanan. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tafsir ini mengedepankan pendekatan yang berbeda, seperti fokus pada persoalan kemasyarakatan, bahasa, atau sejarah. Namun, ia juga mengkritisi tafsir yang melampaui batas dan tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat.
“Seharusnya cari apa yang paling diperlukan masyarakat,” tegasnya. Salah satu perkembangan signifikan dalam dunia tafsir adalah lahirnya tafsir maudhu’i atau tematik. Pendekatan ini, menurut Quraish Shihab, didasarkan pada prinsip “idenya adalah apa yang ingin Anda tahu tanyakan pada Al-Qur’an,” sebagaimana pesan Sayyidina Ali, ‘suruh Al-Qur’an bicara’.
Ia mencontohkan bahwa pertanyaan manusia, seperti teori evolusi, mungkin tidak memiliki jawaban eksplisit dalam Al-Qur’an. “Tafsir tematik memang seperti itu, karena lahir dari ide pertanyaan manusia,” tambahnya.
Quraish Shihab juga menyinggung pendekatan tafsir maqasidi yang menekankan pada tujuan Al-Qur’an. Pendekatan ini mengacu pada gagasan bahwa setiap surat memiliki maksud tertentu. “Dikatakan setiap surat ada maksudnya, dengan mengetahui maksudnya bisa memahami ayat dan menyingkirkan apa yang melenceng atau bukan maksudnya,” ucapnya sambil mengutip pandangan Syekh Muhammad Al-Ghazali.
Tafsir at-Tanwir Tajdid yang Memajukan dan Mencerahkan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan pentingnya Tafsir at-Tanwir sebagai pijakan tajdid Muhammadiyah dalam acara Konferensi Mufasir Muhammadiyah II tersebut.
Dengan tema “Mewujudkan Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah sebagai Landasan Pemikiran Tajdid yang Responsif dan Dinamis untuk Memajukan Indonesia dan Mencerahkan Semesta,” Haedar menggarisbawahi dua agenda utama yang menjadi fokus tafsir ini.
“Setidaknya dari tema ini ada dua agenda penting yang terus perlu menjadi referensi, menjadi alam pikiran, bahkan menjadi kajian yang berkelanjutan,” ujar Haedar.
Pertama, Tafsir at-Tanwir harus menjadi landasan pemikiran tajdid Muhammadiyah yang responsif dan dinamis. “Kehidupan saat ini dengan ekosistem global, nasional, dan lokal bergerak sangat dinamis, bahkan dalam banyak hal mengalami proses liberalisasi dalam kehidupan, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Maka kehadiran Tafsir at-Tanwir harus betul-betul mampu menjadi pijakan bagi Tajdid Muhammadiyah,” jelasnya.
Haedar percaya bahwa para ahli tafsir di Majelis Tarjih dan di seluruh persyarikatan memiliki kapasitas untuk menerjemahkan tajdid ini dalam konteks kekinian.
“Muhammadiyah punya tradisi besar sebagai gerakan tajdid. Tajdid fil-Islam. Dan kekuatan Muhammadiyah justru pada kekuatan pembaharuannya yang telah dipelopori oleh Kiai Dahlan, yang menghasilkan Islam berkemajuan, Islam yang modern, Islam yang reformis,” lanjut Haedar.
Kedua, dalam rangka dakwah, tafsir juga harus memiliki konteks untuk memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta.
“Kehidupan bangsa Indonesia dalam keragaman agama, suku, ras, golongan, dinamika perubahan yang datang dari berbagai jurusan, serta situasi dan lokalitas di mana bangsa Indonesia lahir, tumbuh, dan berkembang di bumi Indonesia yang kaya raya, yang mesti dikelola sumber daya alamnya untuk kemakmuran sebagaimana fungsi kekhalifahan. Di situlah Tafsir At-Tanwir diharapkan akan menjadi suluh rujukan dan referensi keagamaan dalam memajukan Indonesia,” ujarnya.
Haedar juga mengakui tantangan besar yang dihadapi Indonesia, meskipun upaya keras telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan komponen bangsa lainnya.
“Jujur, kita masih tertinggal dalam sejumlah aspek. Meskipun kita telah bekerja keras, baik Muhammadiyah maupun komponen bangsa yang lainnya, termasuk pemerintah, untuk memajukan Indonesia. Tapi kita masih banyak problem, masih banyak masalah, dan sekaligus tantangan yang harus dihadapi,” jelasnya.
Melalui Tafsir at-Tanwir, Haedar yakin Muhammadiyah dapat membimbing umat Islam dan bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan dan memajukan Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. “Dengan Tafsir At-Tanwir, kita tidak hanya bernahyu-munkar, tetapi juga beramar-ma’ruf, memberi konstruksi terhadap masa depan Indonesia,” tegas Haedar.
Ia juga menambahkan bahwa Muhammadiyah harus tetap berada di garda depan sebagai kekuatan pembaharu dan dakwah, dengan peran pentingnya dalam menciptakan solusi dan alternatif untuk bangsa Indonesia. “Muhammadiyah harus berada di garda depan sebagai kekuatan pembaharu dan kekuatan dakwah dengan segala role modelnya yang bisa dihadirkan,” ujarnya.
Haedar mengingatkan para mufasir dan tokoh Muhammadiyah untuk selalu menjaga objektivitas dan ketajaman dalam merumuskan tafsir, keputusan, dan fatwa. “Kita para ulama, para mufasir, para tokoh Muhammadiyah harus tetap jernih menjadi sosok Ulul Albab, menjadi sosok rasikhuna fil ‘ilm,” tegasnya, mengutip QS. Az-Zumar: 18.
Haedar menambahkan bahwa para mufasir harus mampu menyerap berbagai pandangan, situasi, dan realitas, dan mengambil yang terbaik dari segala hal yang ada di sekitar mereka.
“Jangan sampai kita merumuskan tafsir, merumuskan keputusan fatwa, dan lain sebagainya, terpengaruh oleh situasi yang membuat yang kita hasilkan tidak memberikan pencerahan, memberikan pencerdasan, memberikan suluh bahkan pikiran alternatif dari berbagai pemikiran yang boleh jadi tidak kita setujui,” jelasnya.
Haedar mengingatkan bahwa dalam menghadapi perbedaan pendapat dan tantangan zaman, Muhammadiyah harus tampil dengan pemikiran tafsir yang memberi alternatif dan solusi bagi umat dan bangsa.
“Justru ketika kita tidak bersetuju dengan berbagai situasi, berbagai pemikiran, tampilkan pemikiran tafsir, pemikiran keislaman, pandangan keagamaan, fatwa, keputusan yang memberi suluh alternatif,” ujarnya.
Tafsir Transformatif ala Abdul Mu’ti
Dalam Konferensi Mufasir Muhammadiyah II itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti memaparkan gagasannya tentang pendekatan tafsir transformatif.
Mu’ti menekankan bahwa Al-Qur’an tidak sekadar menjadi “petunjuk untuk hidup” (guide for living), melainkan “petunjuk yang senantiasa hidup” (living guide) yang bersifat dinamis dan relevan sepanjang zaman.
“Dalam pembahasan maqasid, Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia, maka harus dipahami oleh seluruh manusia. Karena petunjuk ini bersifat open, menenangkan spiritual, namun tidak sekadar guide for living, melainkan living guide,” ujar Abdul Mu’ti.
Mu’ti menjelaskan bahwa pemahaman ini mengharuskan umat Islam untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan yang selalu hidup dan dinamis sesuai kebutuhan zaman. Menurutnya, tantangan modernisasi sering kali mengarah pada upaya rasionalisasi atau saintifikasi Al-Qur’an yang kadang tidak terbukti secara empiris. Namun, ia menegaskan bahwa hal ini tidak menjadikan Al-Qur’an keliru.
“Banyak yang mencoba rasionalisasi atau sainstifikasi Al-Qur’an, jika dilakukan tidak terbukti apa yang disebutkan Al-Qur’an. Lalu apakah Al-Qur’an salah? Kalau jejak arkeologis tidak ditemukan, apakah Nabi Adam tidak ada? Inilah kelemahan saintifikasi Al-Qur’an,” katanya.
Abdul Mu’ti kemudian mencontohkan pendekatan tafsir transformatif yang telah dirintis oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Tafsir Al-Ma’un, menurutnya, menjadi landasan bagi gerakan sosial seperti pendirian rumah sakit dan panti asuhan. Ia juga menyoroti relevansi tafsir tersebut dalam menciptakan kemajuan pendidikan yang bermutu untuk membangun bangsa yang beriman dan berilmu.
Abdul Mu’ti juga menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an yang menginspirasi inovasi teknologi dan kemajuan transportasi. Ia mencontohkan perintah memperhatikan burung-burung yang terbang sebagai inspirasi untuk menciptakan kendaraan udara modern. “Perintah menjelajahi dunia memerintahkan kita untuk membuat alat transportasi yang canggih,” ujarnya.
Melalui pendekatan tafsir transformatif, Abdul Mu’ti berharap Al-Qur’an dapat menjadi daya penggerak kemajuan umat dalam aspek material maupun spiritual. “Kemakmuran material tidak cukup untuk mencapai kemajuan, melainkan harus dengan kemakmuran material dan spiritual,” pungkasnya.
Paparan Abdul Mu’ti dalam konferensi ini menegaskan peran tafsir Al-Qur’an yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga aplikatif, menjawab kebutuhan masyarakat di era modern tanpa kehilangan nilai-nilai universalnya.***(MHMD)