Iklan

PMB Uhamka

Iklan

PMB Uhamka
,

Iklan

Bolehkah, Suami Mengganti Puasa Qadha untuk Istrinya! Ini Jawaban Muhammadiyah

Redaksi
Sabtu, 08 Februari 2025, 13:43 WIB Last Updated 2025-02-08T06:43:02Z


JAKARTA --
Dalam ajaran Islam, terdapat dua kelompok orang yang diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadan. Pertama, mereka yang memiliki uzur sementara seperti bepergian atau sakit. Mereka diwajibkan untuk mengqadha puasanya setelah bulan Ramadan sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan.


Kedua, mereka yang memiliki uzur permanen, seperti orang tua yang sudah sangat lemah, pekerja berat yang tidak memungkinkan untuk berpuasa, atau penderita penyakit kronis yang tidak ada harapan sembuh. Termasuk dalam kategori ini adalah perempuan hamil dan menyusui yang merasa khawatir terhadap kesehatan diri atau bayinya.


Kelompok kedua ini diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadan, tetapi mereka tidak diwajibkan mengqadha, melainkan cukup membayar fidyah dengan memberi makan seorang fakir miskin setiap harinya.


Dasar hukum terkait hal ini disebutkan dalam firman Allah: “… maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin …” (QS. Al-Baqarah: 184).


Selain itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh lima imam (Rawahul Khamsah), Rasulullah Saw bersabda:


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَ عَنِ الْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ  (رواه الخمسة)


“Bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: Sungguh Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh salat bagi orang yang sedang bepergian serta membebaskan puasa bagi orang yang hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).


Berdasarkan dalil di atas, perempuan yang sedang menyusui boleh tidak berpuasa dengan kewajiban membayar fidyah. Dengan demikian, qadha puasa tidak menjadi kewajibannya, melainkan cukup menggantinya dengan fidyah.


Lalu bagaimana jika seorang suami ingin menggantikan qadha puasa istrinya? Dalam hal ini, syariat Islam telah memberikan ketentuan bahwa puasa yang ditinggalkan oleh seseorang yang masih hidup tidak dapat digantikan oleh orang lain, baik oleh suami, anak, maupun keluarganya. Kewajiban puasa bersifat individual, sehingga tidak bisa diwakilkan kecuali dalam kondisi tertentu.


Adapun puasa yang dapat digantikan oleh orang lain adalah puasa seseorang yang telah meninggal dunia sebelum sempat mengqadha kewajibannya. Dalam hal ini, wali atau ahli warisnya diperintahkan untuk menggantikan puasanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu:


“Seorang laki-laki datang menghadap Nabi Saw lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, ibuku telah wafat padahal ia masih memiliki kewajiban puasa selama satu bulan. Apakah aku boleh menggantikan puasanya?’ Nabi menjawab, ‘Ya.’ Selanjutnya beliau bersabda, ‘Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.’” (HR. Al-Bukhari).


Hadis ini menunjukkan bahwa penggantian puasa hanya berlaku bagi mereka yang telah meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa yang belum ditunaikan. Sementara itu, bagi orang yang masih hidup, kewajiban puasa tetap harus dilakukan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, suami tidak sah menggantikan qadha puasa istrinya. Jika istri tidak mampu berpuasa karena uzur permanen, maka cukup membayar fidyah sesuai ketentuan syariat.


Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Bolehkah Suami Menggantikan Puasa Qadha Istrinya?”, https://fatwatarjih.or.id/bolehkah-suami-menggantikan-puasa-qadha-istrinya/, diakses pada Sabtu, 08 Februari 2025.

Iklan

PMB Uhamka