JAKARTA – Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z dan Milenial kini memiliki keresahan yang tinggi terhadap krisis lingkungan. Kelompok masyarakat ini tak jarang bersuara lantang mendesak pemerintah untuk pemulihan krisis lingkungan.
Hal itu diungkapkan oleh Parid Ridwanuddin dari Eco Bhinneka Muhammadiyah dan GreenFaith Indonesia pada (13/3) dalam FGD yang diinisiasi oleh Oxford Policy Management Limited (OPML) dan Eco Bhinneka Muhammadiyah.
Menurut survei yang dilakukan oleh UNDP pada 2022, Parid mengungkapkan terdapat 2 juta anak muda dengan rentang usia 0-35 tahun memiliki keresahan yang tinggi terhadap kerusakan lingkungan di bumi yang mereka tempati ini.
“Mereka mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah nyata menyelesaikan krisis lingkungan. Sementara itu, generasi di atas 36 tahun cenderung bersikap kurang peduli terhadap krisis,” ujarnya.
Parid menjelaskan bahwa ketidakpedulian generasi sebelumnya telah menciptakan ketimpangan antargenerasi. Ketidakpedulian itu memberi dampak yang berarti pada krisis lingkungan, sehingga generasi setelahnya memikul beban berlebih untuk pemulihan krisis.
“Generasi mendatang memiliki hak yang sama untuk menikmati bumi yang sehat. Kita harus mewariskan mata air, bukan air mata,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya memberikan ruang bagi generasi muda dalam proses pengambilan kebijakan publik, mengingat banjir, longsor, dan bencana lingkungan lainnya terus terjadi akibat kurangnya perubahan mendasar dalam pengelolaan lingkungan.
Hadir sebagai pemantik diskusi, Al Bawi, pegiat lingkungan dari Kalimantan Selatan, membagikan pengalamannya dalam gerakan Save Meratus. Kawasan Meratus yang kaya akan keanekaragaman hayati telah lama menghadapi ancaman deforestasi, pertambangan, dan perubahan iklim.
Melalui kolaborasi lintas agama, Muhammadiyah berhasil membentuk kader peduli lingkungan, memperkuat kapasitas advokasi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian Meratus.
“Kolaborasi lintas agama dan partisipasi aktif masyarakat adalah kunci dalam menghadapi krisis lingkungan,” ujar Al Bawi.
Ia berharap gerakan ini dapat menginspirasi inisiatif serupa di seluruh Indonesia, di mana generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif bagi lingkungan.
Sementara itu, Aldi Destian Satya dari Komunitas Pemuda Agama Khonghucu menekankan pentingnya kolaborasi antarumat beragama dalam menjaga keberagaman dan lingkungan.
“Keberagaman budaya di Indonesia adalah kekayaan yang harus dijaga. Setiap budaya memiliki cara unik dalam melestarikan alam, seperti praktik pertanian berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana,” jelasnya.
Aldi mengajak generasi muda untuk aktif terlibat dalam kegiatan pelestarian lingkungan, seperti penghijauan dan pembersihan sungai. “Pemuda memiliki energi dan kreativitas yang dapat membawa perubahan positif. Dengan bekerja sama, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” ujarnya.
FGD ini merupakan rangkaian kelima dari program sebelumnya yang telah diselenggarakan di Jakarta, Sawahlunto, Riau, dan Ambon. Acara ini menjadi bukti nyata komitmen berbagai pihak dalam mendorong pembangunan rendah karbon dan pelestarian lingkungan.
“Kami berharap pertemuan ini dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi isu lingkungan di Indonesia. Mari bersama-sama membuat perubahan positif, dimulai dari hal paling sederhana, dan ajak lebih banyak orang untuk menjadi pembuat perubahan (change maker),” tutup Parid Ridwanuddin.***(MHMD)