JAKARTA -- Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menyambut hari raya dengan penuh suka cita. Hari raya dalam tradisi Islam disebut “Id”. Dalam bahasa Arab, “Id” berakar dari kata yang merujuk pada al-mawsim, yakni musim atau peristiwa yang berulang secara berkala. Dalam terjemahan ke bahasa Indonesia, “Id” kerap disepadankan dengan “hari raya”.
Salah satu hari raya yang paling dinanti adalah Idul Fitri. Nama “Idul Fitri” sendiri mengandung cerita tersendiri. Dinamakan demikian karena pada hari itu, umat Islam yang telah menjalani ibadah puasa sepanjang bulan Ramadan “berbuka” secara resmi.
Setelah sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, tanggal 1 Syawal menjadi penanda berakhirnya kewajiban berpuasa. Bahkan, pada hari tersebut, berpuasa justru dilarang, menegaskan bahwa Idul Fitri adalah waktu untuk bergembira dan bersyukur.
Perayaan ini dimulai dengan salat Idul Fitri secara berjamaah, sebuah ibadah yang telah disyariatkan sejak tahun pertama Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah. Salat ini bukan sekadar ritual, tetapi juga wujud syukur kolektif atas nikmat menyelesaikan ibadah puasa.
Hal ini berdasarkan Hadis Nabi Saw:
عن عبد الله بن عُمر رضي الله عنهما قال: «كان النبي صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وعُمر يصلون العيدين قبل الخُطْبة
“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar melakukan salat dua hari raya sebelum khutbah dilaksanakan.” (HR. Bukhari-Muslim).
Namun, apakah Idul Fitri benar-benar bermakna “kembali suci”?
Banyak yang mengaitkan Idul Fitri dengan proses pemurnian jiwa, seolah Ramadan adalah perjalanan spiritual untuk menghapus dosa, dan Idul Fitri menjadi titik kulminasi kembalinya manusia kepada fitrahnya yang suci.
Tidak sedikit yang berpendapat bahwa secara etimologis “fitri” satu akar istilah dengan “fitrah”. Akan tetapi, makna ini lebih merupakan interpretasi filosofis ketimbang definisi harfiah. Idul Fitri, dalam konteks syariat, lebih menekankan pada kebahagiaan setelah menunaikan kewajiban, bukan jaminan bahwa seseorang telah terbebas dari dosa.
Kesucian, pada akhirnya, adalah harapan yang terus dikejar, bukan hadiah yang otomatis diperoleh. Ungkapan “tattaqun” dalam Surah Al-Baqarah ayat 183, misalnya, tidak merujuk pada takwa sebagai gelar yang melekat pada pelaku puasa, melainkan sebuah proses berkelanjutan menuju perilaku yang lebih baik. Takwa adalah perjalanan, bukan stempel akhir.
Jadi, apakah Idul Fitri benar-benar berarti “kembali suci”? Secara harfiah, mungkin tidak. Namun, Idul Fitri menjadi pengingat bahwa kesucian adalah tujuan yang terus dikejar, bukan hadiah instan. Setiap langkah dalam perjalanan Ramadan, dan setiap kebaikan yang dibagikan membawa kita lebih dekat ke arah itu, langkah demi langkah, tahun demi tahun.