JAKARTA -- Kata “bid’ah” sering kali menggema, menyulut perdebatan. Secara bahasa, bid’ah berasal dari akar kata Arab “al-bida’”, yang merujuk pada penciptaan sesuatu yang baru, tanpa ada contoh sebelumnya. Ia adalah ungkapan untuk hal yang ditemukan atau diciptakan tanpa preseden.
Namun, dalam ranah syariat, bid’ah memiliki wajah yang lebih kompleks. Imam As-Syatiby, dalam Al-I’tisham, mendefinisikannya sebagai jalan atau cara dalam agama yang dibuat-buat, menyerupai ajaran syariat, dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Bid’ah, dengan demikian, bukan sekadar inovasi, melainkan inovasi yang berpotensi menyimpang dari koridor syariat.
Sebuah hadis yang sering dikutip dalam soal ini adalah sabda Rasulullah SAW: “Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”.
Kalimat ini terdengar tegas, namun apakah benar setiap bentuk bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat? Para ulama besar menawarkan penjelasan yang membumi.
Imam Nawawi, dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, menegaskan bahwa lafadz “kullu” (setiap) dalam hadis ini bersifat umum, namun bermakna khusus, merujuk pada sebagian besar bid’ah. Dengan kata lain, tidak semua bid’ah adalah sesat; ada ruang untuk pengecualian.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam Fathu al-Bari, menambahkan bahwa bid’ah yang sesat adalah yang tidak memiliki dalil dari syariat, baik secara umum maupun khusus. Inovasi yang selaras dengan semangat syariat, dengan demikian, dapat diterima.
Untuk memahami batasan ini, kita dapat menilik teladan Rasulullah SAW dalam menyikapi perbuatan baru para sahabat. Beliau menunjukkan kearifan yang luar biasa. Ketika Usman bin Mazh’un berniat tabattul atau membujang seumur hidup demi ibadah, Rasulullah melarangnya, menegaskan bahwa sunnah menikah adalah jalan yang lebih seimbang. Nabi Saw juga membenci sikap berlebihan dalam ibadah, yang dapat mengganggu harmoni kehidupan.
Namun, di sisi lain, Rasulullah memperbolehkan inovasi yang tidak menyimpang. Bilal bin Rabah, misalnya, berwudhu setiap kali batal sebagai komitmen pribadi, dan Rasulullah tidak melarangnya. Seorang sahabat pernah berdoa dengan lafadz baru yang tidak pernah didengar beliau, dan Rasulullah membiarkannya. Abu Sa’id Al-Khudri meruqyah orang yang digigit ular, dan beliau memujinya. Bahkan, dalam kasus perbedaan pendapat tentang shalat saat menyerbu Bani Quraizhah, Rasulullah membenarkan kedua kelompok sahabat yang memiliki pendekatan berbeda. Sikap ini menunjukkan bahwa inovasi yang sesuai dengan ruh syariat memiliki tempat dalam Islam.
Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat melanjutkan semangat ini dengan perbuatan baru yang kini menjadi pilar tradisi Islam. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an untuk menjaga keutuhan wahyu Allah. Umar bin Khattab menginisiasi shalat tarawih berjamaah, yang kini menjadi tradisi Ramadan yang tak terpisahkan. Inovasi-inovasi ini diterima karena berpijak pada prinsip syariat dan bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Pandangan Muhammadiyah Soal Bid’ah
Majelis Tarjih Muhammadiyah menawarkan pandangan yang tegas namun terukur tentang bid’ah. Menurut fatwanya, bid’ah adalah perbuatan atau perkataan yang dianggap sebagai ibadah ritual (umur ta’abbudiy) yang baru, tanpa perintah atau contoh dari Rasulullah SAW.
Bid’ah tidak mencakup urusan duniawi, seperti teknologi atau administrasi. Semua ibadah ritual harus berlandaskan nash-nash yang shahih, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, yang telah dijelaskan tata caranya oleh syariat.
Diskursus tentang bid’ah mengajarkan kita untuk bersikap bijak: tidak terburu-buru menghakimi setiap hal baru sebagai sesat, namun juga tidak sembarangan menerima inovasi tanpa landasan. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam agama kami yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak”.
Kuncinya adalah memastikan bahwa setiap inovasi berakar pada Al-Qur’an, Sunnah, atau prinsip syariat. Dengan pendekatan ini, umat Islam dapat terus berinovasi menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri keimanan.
Bid’ah adalah cermin dinamika kehidupan umat: ia bisa menjadi penyimpangan jika tak berdasar, namun juga kebajikan jika selaras dengan ajaran syariat. Seperti kata pepatah, menjaga yang lama yang baik, mengambil yang baru yang lebih baik. Wallahu a’lam.
Referensi: Ghoffar Ismail, “Bid’ah dalam Perspektif Muhammadiyah”, materi Pengajian Tarjih, https://tarjih.or.id/wp-content/uploads/2020/09/BID%E2%80%99AH-DALAM-PERSPEKTIF-MUHAMMADIYAH.pdf, diakses pada Kamis, 17 April 2025.