Iklan

buku
,

Iklan

Hukum Melaksanakan Ibadah Haji dengan Visa Umrah, Bolehkah?

Redaksi
Jumat, 25 April 2025, 14:01 WIB Last Updated 2025-04-25T07:01:40Z
buku


JAKARTA --
Ibadah haji merupakan panggilan suci yang menuntut kesiapan lahir dan batin. Namun, muncul fenomena yang mengundang perhatian: sebagian jamaah menggunakan visa umrah untuk berhaji, dengan sengaja menetap di Arab Saudi hingga musim haji tiba.


Meskipun niatnya mungkin tulus, praktik ini memunculkan pertanyaan: apakah haji dengan visa umrah sah secara syariat dan hukum? Lebih jauh lagi, apa dampaknya bagi jamaah dan penyelenggaraan haji secara keseluruhan?


Regulasi Hukum dan Syarat Administratif Haji


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, hanya dua jenis visa yang sah untuk berhaji: visa haji kuota Indonesia (reguler dan khusus) serta visa haji mujamalah, seperti undangan resmi dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, yang dikenal sebagai Haji Furoda.


Visa haji adalah izin resmi yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang di Kantor Perwakilan Pemerintah Arab Saudi di Indonesia, memungkinkan pemegangnya menunaikan ibadah haji. Menggunakan visa ziarah (umrah) untuk berhaji dianggap ilegal dan melanggar aturan keimigrasian.


Dari perspektif syariat, haji bukan sekadar ritual, tetapi ibadah yang mensyaratkan istiṭā‘ah (kemampuan menyeluruh). Al-Qur’an dalam Surah Ali Imran ayat 97 dengan tegas menyebutkan:


وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ


“(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.”


Ayat ini menegaskan bahwa haji wajib bagi mereka yang memiliki istiṭā‘ah, yang mencakup kemampuan fisik, finansial, logistik, dan administratif (al-istiṭā‘ah al-idāriyyah). Tanpa visa haji resmi, seseorang dianggap tidak memenuhi syarat administratif, sehingga hajinya tidak memenuhi ketentuan syariat.


Mafsadah Berhaji dengan Visa Nonhaji


Berhaji dengan visa nonhaji tidak hanya melanggar aturan administratif, tetapi juga menimbulkan mafsadah (kerugian atau bahaya) yang signifikan. Berikut tiga mafsadah utama yang ditimbulkan:


Pertama, Bahaya bagi Diri Sendiri dan Orang Lain


Praktik ini membawa risiko hukum yang berat. Menurut Kementerian Agama Republik Indonesia dan Wizārah ad-Dākhilah Arab Saudi, jamaah yang menggunakan visa ziarah untuk haji dapat ditahan, dideportasi, didenda 10.000 Riyal (setara Rp42 juta), dan dilarang masuk Arab Saudi selama 10 tahun.


Selain itu, kepadatan akibat jamaah ilegal mengganggu kelancaran ibadah, seperti di area tawaf, sai, lempar jamrah, hingga wukuf di Arafah. Hadis Nabi SAW dari Sahabat ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit menegaskan larangan ini:


عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ: ‌لَا ‌ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ


“Dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit, bahwa Rasulullah SAW menetapkan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula membahayakan (pihak lain)” [HR Ibnu Majah].


Prinsip fikih juga mendukung hal ini:


دَرْءُ ‌الْمَفَاسِدِ ‌مُقَدَّمٌ عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ


“Menghindari kemafsadahan lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”


Kedua, Ketidakadilan dan Perampasan Hak


Pada 2023, sekitar 100.000 jamaah Indonesia menggunakan visa ziarah untuk berhaji, menyebabkan overkapasitas di tempat-tempat ibadah. Laporan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah menyebutkan ruang di Muzdalifah hanya 0,29 m² per jamaah, lebih sempit dari 0,45 m² pada tahun sebelumnya.


Kepadatan ini meningkatkan risiko gangguan, pingsan, bahkan kematian. Tindakan ini merampas hak jamaah lain, sebagaimana diperingatkan dalam Surah al-Baqarah ayat 188:


وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ


“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”


Dalam perspektif syariat, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai jarīmah dīniyyah (pelanggaran agama).


Ketiga, Penipuan dan Pelanggaran Syariat


Berhaji dengan visa nonhaji sering melibatkan pemalsuan dokumen atau manipulasi informasi, yang merupakan bentuk penipuan (al-ghashsh). Rasulullah SAW mengutuk penipuan dalam hadis riwayat Muslim:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا


“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa saja yang mengangkat senjata (memerangi) kami, maka ia tidak termasuk dari kami, dan siapa yang menipu kami, ia pun tidak termasuk dari kami’” [HR Muslim].


Selain itu, hadis riwayat Malik menegaskan kewajiban mematuhi syarat yang disepakati:


الْمُسْلِمُونَ ‌عَلَى ‌شُرُوطِهِمْ


“Umat Islam harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati” [HR Malik].


Praktik ini juga melanggar larangan fusūq (kemaksiatan) selama haji, sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 197:


… فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ …


“Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji…”


Hadis riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah juga menegaskan:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‌مَنْ ‌حَجَّ ‌فَلَمْ ‌يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa saja yang berhaji dan tidak melakukan perkara keji (rafaṡ) dan tidak melakukan kefasikan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu’” [HR at-Tirmidzi].


Berdasarkan dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan:


Haji wajib dilakukan dengan visa haji resmi sebagai bagian dari istiṭā‘ah idāriyyah.


Berhaji dengan visa nonhaji adalah perbuatan terlarang karena menimbulkan mafsadah, seperti kerugian bagi diri sendiri dan orang lain, ketidakadilan, serta penipuan.


Untuk mengatasi fenomena ini, beberapa rekomendasi diajukan:


Pemerintah harus menutup celah penyalahgunaan visa ziarah, misalnya dengan membatasi penerbitan visa umrah bagi pihak yang dicurigai akan berhaji secara ilegal.


Koordinasi lintas kementerian (Kementerian Agama, Hukum dan HAM, Perhubungan) dan kerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi melalui kementerian luar negeri perlu diperkuat.


Edukasi masif kepada masyarakat tentang kewajiban menggunakan visa haji resmi dan risiko berhaji dengan visa nonhaji harus digalakkan.


Pemerintah dapat meningkatkan pengawasan dan sanksi tegas terhadap pelaku untuk mencegah praktik serupa.


Haji adalah perjalanan spiritual yang menuntut kesucian niat dan kepatuhan pada aturan. Menggunakan visa umrah untuk berhaji, meski didorong niat beribadah, justru merusak esensi ibadah itu sendiri. Mari wujudkan haji mabrur dengan cara yang benar, menjaga keberkahan dan keadilan bagi seluruh jamaah.


Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fatwa tentang Hukum Berhaji dengan Visa Non Haji, Murur di Muzdalifah dan Tanazul di Mina”, https://tarjih.or.id/fatwa-tentang-hukum-berhaji-dengan-visa-non-haji-murur-di-muzdalifah-dan-tanazul-di-mina/, diakses pada Jumat, 25 April 2025.

Iklan

PMB Uhamka