Iklan

buku
,

Iklan

Kepemimpinan Ulama Muda: Membumikan Spirit Tajdid dalam Arena Pelajar

Redaksi
Jumat, 25 April 2025, 19:05 WIB Last Updated 2025-04-25T12:05:58Z
buku


Oleh: Muhammad Yazid Zidan*


DALAM konteks sejarah Muhammadiyah, ulama tidak hanya dipahami sebagai ahli agama yang terkungkung di balik kitab dan mimbar, tetapi sebagai agen perubahan sosial yang dinamis, progresif, dan transformatif.


Spirit tajdid atau pembaruan menjadi ruh utama gerakan ini sejak KH Ahmad Dahlan mengayunkan langkahnya mengoreksi arah kiblat masjid, sebuah tindakan kecil, tetapi penuh makna simbolik bahwa perubahan harus dimulai dari keberanian membetulkan arah dasar.


Kini, dalam kancah kepemimpinan pelajar, khususnya dalam tubuh Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), spirit tajdid itu harus kembali dibumikan. Pemimpin IPM bukan sekadar pengatur program dan pengelola acara, tetapi harus tampil sebagai ulama muda: sosok pembaru dengan akal kritis, hati yang tajam, dan semangat gerakan yang menyala. Di tangan merekalah, tajdid Muhammadiyah menemukan regenerasinya.


Tajdid sebagai napas kaderisasi


Muhammadiyah bukan gerakan konservatif yang statis. Ia lahir dan hidup dari denyut pembaruan (tajdid), baik dalam bidang pemikiran, pendidikan, maupun strategi dakwah. KH Ahmad Dahlan meletakkan dasar ini dengan merombak metode belajar agama di langgar, memadukan ilmu agama dan pengetahuan umum serta memperkenalkan metode pendidikan modern berbasis kelas dan kurikulum.


Semangat ini terus hidup dalam dokumen resmi Persyarikatan. Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah disebutkan bahwa warga Muhammadiyah diharapkan “berkemajuan, dinamis, inovatif, dan terbuka terhadap perubahan yang maslahat”. IPM sebagai ortom pelajar Muhammadiyah mesti menjadi lokomotif yang mewujudkan spirit itu sejak usia muda.


Ulama muda: antara intelektualitas dan aktivisme


Dalam lanskap kaderisasi pelajar Muhammadiyah, istilah ulama muda bukanlah sebuah mahkota simbolik yang menandai status elitis, melainkan identitas ideologis yang terpatri dalam proses panjang pendidikan ruhani dan intelektual.


Ulama muda lahir dari sintesis tiga pilar utama: taklim (penguatan ilmu), tadrib (pelatihan kepemimpinan), dan tazkiyah (penyucian diri). Proses ini bukan hanya membentuk kemampuan berpikir dan bertindak, melainkan membangun integritas dan keluhuran niat dalam setiap bentuk aktivisme pelajar.


Di tengah zaman yang penuh distraksi dan disorientasi, kepemimpinan pelajar tak bisa sekadar mengandalkan popularitas atau kefasihan orasi. Spirit tajdid yang menjadi warisan Muhammadiyah menuntut kehadiran pemimpin-pemimpin muda yang mampu menggali akar nilai Islam, sambil secara aktif menyusun strategi perubahan yang sesuai dengan tantangan kekinian.


Kita tengah menghadapi sebuah krisis multidimensi di kalangan pelajar. Pertama, krisis moral dan spiritual. Hal itu muncul akibat derasnya arus budaya instan, dominasi gadget, serta gaya hidup hedonistik yang menjauhkan pelajar dari nilai-nilai ketekunan, kesederhanaan, dan pengabdian.


Kedua, dekadensi pemikiran kritis, di mana logika dan argumentasi yang sehat digeser oleh daya saing narasi viral dan sensasionalisme media sosial. Gagasan besar kerap tenggelam dalam kebisingan algoritma.


Ketiga, derakan pelajar yang kehilangan arah perjuangan. Mereka terjebak dalam rutinitas program seremonial tanpa muatan nilai yang transformatif dan membebaskan.


Dalam situasi seperti ini, ulama muda IPM harus menjadi oase dan sekaligus kompas. Mereka tidak cukup hanya memahami teks-teks keislaman, tetapi harus mampu menafsirkannya ke dalam konteks sosial yang terus berubah.


Mereka tidak hanya hadir di majelis-majelis ilmu, tapi juga di medan-medan pengabdian. Mereka bukan sekadar mengisi forum diskusi, melainkan membangun gerakan yang menyentuh kehidupan pelajar secara nyata.


Menjadi ulama muda berarti menggabungkan ketajaman berpikir yang lahir dari tradisi ilmiah dan kajian mendalam; keberanian bertindak yang ditumbuhkan dari semangat dakwah amar makruf nahi munkar; dan ketulusan berdakwah yang bersumber dari hati yang bersih dan penuh cinta pada kebaikan.


Ulama muda tidak hanya membaca realitas. Namun, ikut membentuknya dan menjadi pelaku sejarah yang menyalakan obor perubahan di tengah gelapnya zaman.


Mereka inilah yang akan menyambung mata rantai perjuangan KH Ahmad Dahlan dan para pembaru Muhammadiyah lainnya. Mereka diharapkan tidak hanya sebagai pengikut yang pasif, tetapi sebagai pemimpin yang menyadari tanggung jawab zaman.


Dalam kacamata IPM, ulama muda bukan sekadar cita-cita, melainkan proyeksi masa depan gerakan pelajar yang lebih berakar, lebih bernyali, dan lebih mencerahkan.


Refleksi kepemimpinan tajdid: dari elitisme ke spirit kolektif


Pemimpin pelajar dalam spirit tajdid bukan pemimpin tunggal yang merasa paling tahu, melainkan fasilitator kebaikan kolektif. KH Fakhruddin, tokoh pelopor kepemudaan Muhammadiyah, mencontohkan hal ini dengan memprakarsai Hizbul Wathan sebagai bentuk pelatihan kepemimpinan pelajar berbasis keteladanan dan keberanian sosial.


Bahkan, tanwir (pencerahan) sebagai istilah khas dalam forum Muhammadiyah, menunjukkan bahwa pemimpin harus menjadi pencerah, bukan sekadar pengarah. Dalam jurnal Tajdid: Jurnal Pemikiran Islam dan Keislaman (Vol 25, No 1, 2023), disebutkan bahwa pemimpin tajdid tidak bisa netral dalam realitas sosial, sebab ruh Islam mendorong keberpihakan pada kebenaran dan keadilan.


Oleh karena itu, IPM harus menjadi arena penggodokan pemimpin-pemimpin pelajar yang punya kesadaran sosial, kepedulian moral, dan kapasitas manajerial dalam satu napas gerakan.


Menjadi IPM tajdid: narasi gerakan baru


Menjadi IPM hari ini berarti menjadi bagian dari gerakan tajdid—pembaruan yang tidak sekadar mengganti bentuk lama. Namun, menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dalam wajah yang lebih kontekstual dan membebaskan.


Dalam dunia yang terus berubah, kepemimpinan IPM tak cukup hanya mempertahankan rutinitas dan program tahunan. Namun, ia harus hadir sebagai kekuatan yang kritis terhadap status quo yang meninabobokan pelajar dalam kenyamanan semu. Ia sekaligus harus responsif terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan digital, dan ketimpangan akses pendidikan.


Gerakan IPM yang tajdid bukan berarti mencampakkan tradisi, melainkan mengaktualisasikannya. Seperti halnya semangat Muhammadiyah yang melihat agama bukan sebagai beban masa lalu, melainkan sebagai energi peradaban.


Oleh karena itu, IPM harus menjadikan agama sebagai penggerak transformasi, bukan simbol seremonial. Kepemimpinan pelajar harus adaptif dalam berdakwah, menjangkau pelajar dengan bahasa, platform, dan metode yang membumi—bukan menjauhkan, melainkan justru mendekatkan pada makna dan misi Islam yang mencerahkan.


Dengan semangat ini, IPM bukan hanya organisasi pelajar—ia adalah madrasah tajdid, tempat lahirnya kader-kader muda yang berpikir luas, bergerak lincah, dan bertindak ikhlas demi perubahan yang lebih bermakna.Tajdid bukan opsi, tapi jalan hidup!


Pemilihan ketua IPM bukan sekadar kompetisi struktural, melainkan momentum spiritual dan kultural untuk menentukan arah gerakan. Apakah IPM akan menjadi organisasi pelajar yang sekadar eksis? Ataukah menjadi arena lahirnya ulama muda yang bergerak dengan ruh tajdid?


Dalam satu ceramahnya, Buya Syafii Maarif pernah berkata, “Menjadi pemimpin dalam Muhammadiyah harus mampu menggerakkan hati, bukan sekadar menggerakkan struktur.”


Maka dari itu, mari pastikan pemilihan Ketua IPM tidak sekadar soal siapa yang terpilih. Namun, siapa yang sanggup membumikan spirit tajdid di tengah pelajar dan menghidupkan warisan ulama sebagai kekuatan perubahan.


*Ketua PD IPM Garut Bidang ASBO

Iklan

PMB Uhamka