YOGYAKARTA – Di lingkungan Muhammadiyah, termasuk ‘Aisyiyah seni dan budaya selalu hangat diperbincangkan, meskipun Majelis Tarjih sudah berfatwa bahwa seni dan budaya itu mubah.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Lembaga Budaya, Seni dan Olahraga (LBSO) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Wiwied Widyastuti pada (14/4) dalam GSM ‘Aisyiyah Jawa Barat secara daring.
Di ‘Aisyiyah, katanya, masih banyak persepsi yang muncul terhadap masalah seni dan budaya. Pandangan itu menjadi warna yang perlu dilihat secara objektif, sebab jika terus diperuncing akan menjadi perdebatan yang menimbulkan perpecahan.
“Ketika ‘Aisyiyah berbicara tentang seni dan budaya ini, ada banyak hal yang memang kemudian harus kita samakan,” katanya.
Menurutnya, kritik terhadap seni dan budaya yang diberikan seringkali tidak konstruktif dan biasanya diberikan oleh mereka-mereka yang belum membaca atau memahami dokumen-dokumen keputusan organisasi.
Perempuan asli Yogyakarta ini mengajak warga Muhammadiyah untuk membaca produk-produk hukum yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Di produk hukum itu sudah dibahas masalah seni dan budaya.
Muhammadiyah tidak mengharamkan secara mutlak seni dan budaya, bahkan Muhammadiyah memiliki dokumen tentang dakwah kultural yang dihasilkan pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali pada 2002.
“Di Muhammadiyah sendiri ada strategi kebudayaan Muhammadiyah. Ini yang kemudian harus kita garis bawahi bahwa Muhammadiyah dalam menyikapi kebudayaan itu menyatukan dua dimensi, yaitu dimensi ajaran kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dan dimensi ijtihad sosial keagamaan,” ungkapnya.
Namun demikian, dalam menciptakan dan menikmati seni dan budaya diminta supaya menghindari fasad atau berbuat kerusakan, darar atau membahayakan, ‘isyan atau kedurhakaan, dan ba’id ‘anillah atau menjauhkan diri dari Allah SWT.
Menurut Wiwied, jika unsur-unsur tersebut ditemukan dalam produk seni dan budaya, maka sifat mubahnya menjadi hilang. Karena keempat unsur itu dapat mendekonstruksi hukum mubah menjadi dilarang.***